Jumat, 04 November 2011

"Jannah-jannah" lainnya di Dunia & Madinah (13) & Perjanjian Hudaibiyah


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


HUBUNGAN KISAH MONUMENTAL

"ADAM, MALAIKAT, IBLIS"

DENGAN

SURAH AL-IKHLASH, AL-FALAQ, DAN AL-NAAS

Bagian XXXII


Tentang

"Jannah-jannah" Lainnya di Dunia: Madinah (13) & Perjanjian Hudaibiyah

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿۱ اِنَّا فَتَحۡنَا لَکَ فَتۡحًا مُّبِیۡنًا ۙ﴿۲

Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah memberi engkau satu kemenangan nyata (Al-Fathah [48]:1-2).

Menurut ijmak (kesepakatan pendapat) para ulama Surah Al-Fath diturunkan sesudah penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah, ketika Nabi Besar Muhammad saw. berada dalam perjalanan ke Madinah pada tahun ke-6 Hijrah dalam bulan Dzul-Qa'dah (Bukhari). Perjanjian itu merupakan kejadian sangat penting, semua kejadian bertalian dengan peristiwa itu telah direkam dengan teliti dalam sejarah Islam. Jadi, ada keseragaman pendapat berkenaan dengan waktu dan tempat Surah ini diturunkan.

Surah ini berjudul Al-Fath (Kemenangan). Judul itu tepat benar, karena kejadian yang nampaknya merupakan kekalahan diplomatik itu, pada akhirnya terbukti merupakan siasat ulung dari pihak Nabi Besar Muhammad saw., yang membawa kepada Fathah Mekkah atau jatuhnya kota Mekkah, dan sebagai akibatnya menjurus kepada penaklukan seluruh tanah Arab. Menjelang akhir Surah sebelumnya (Surah Muhammad), orang-orang beriman dijanjikan dengan pasti akan kemenangan atas semua lawan mereka.

Surah sekarang ini menyatakan dengan kata-kata yang jelas dan tanpa ragu-ragu bahwa kemenangan yang dijanjikan itu bukan sesuatu yang bakal terjadi di masa depan yang jauh dan tidak menentu melainkan telah sangat dekat. Demikian dekatnya sehingga dapat dikatakan benar-benar telah tiba, dan begitu menentukan dan menyeluruh sehingga bahkan orang yang paling peragu sekalipun akan sulit mengingkarinya.

Ikhtisar Surah Al-Fath

Surah ini mulai dengan pernyataan kuat bahwa kemenangan yang dijanjikan itu benar-benar telah tiba dan bahwa kemengangan itu akan jelas, pasti, dan menyeluruh. Kemudian Nabi Besar Muhammad saw. diberi kabar pula bahwa sebagai buahnya nanti orang-orang akan masuk ke pangkuan Islam dalam jumlah sangat besar sehingga akan terbukti merupakan tugas yang sangat besar untuk beliau saw. mengajar dan mendidik orang-orang yang baru (mu’alaf) masuk itu supaya menghayati hukum-hukum dan dasar-dasar agama Islam. Oleh karena itu beliau saw. harus memohon pertolongan Ilahi dalam menunaikan tugas beliau saw. yang sangat berat itu, dan memohon ampunan dan kasih sayang, agar jangan dikarenakan keterbatasan kemampuan insani maka beberapa kekurangan akan dibiarkan merajalela.

Surah Al-Fath lebih lanjut mengatakan bahwa disebabkan kurang menyadari dengan sesungguhnya akan arti yang sepenuhnya tentang Perjanjian itu, orang-orang beriman akan merasa kecewa. Maka Allah akan menghibur dan menenteramkan hati mereka, dan keimanan mereka akan bertambah sedang kepuasan hati dan kegembiraan palsu orang-orang kafir akan terbukti tidak lama.

Orang-orang beriman selanjutnya diberitahu bahwa mereka hendaknya jangan meragukan hikmah dalam tindakan Nabi Besar Muhammad saw. menandatangani naskah Perjanjian itu karena beliau adalah Rasul Allah dan segala tindakan beliau saw. dilakukan atas petunjuk dan bimbingan Allah Swt. Sendiri. Kewajiban mereka ialah "beriman kepada beliau saw., membantu beliau saw. dan menghormati beliau saw.."

Surah ini lebih lanjut mengatakan bahwa orang-orang beriman mendapat keridhaan Allah Swt. tatkala mereka itu mengadakan sumpah setia kepada Nabi Besar Muyhammad saw. di bawah sebatang "Pohon" bahwa mereka akan mendampingi beliau saw. dalam segala keadaan sekali-pun hingga mati. Rencana Allah Sendirilah yang menghendaki pertempuran itu tidak terjadi pada waktu itu sebab ada beberapa orang Muslim sejati dan mukhlis tinggal di kota Mekkah yang tidak diketahui oleh orang-orang beriman dan mungkin tanpa sengaja akan terbunuh andaikata pertempuran sungguh-sungguh terjadi.

Kemudian, orang-orang munafik dan orang-orang yang meninggalkan diri di belakang, menerima kecaman keras dan kemunafikan mereka akan terbongkar. Manakala mereka diajak berperang di jalan Allāh, demikian Surah ini mengatakan, mereka mengada-adakan dalih untuk membenarkan mereka tinggal di belakang akan tetapi, dengan helah-helah bodoh dan dalih-dalih palsu mereka tidak menipu siapa pun kecuali diri mereka sendiri.

Menjelang berakhirnya, Surah ini kembali kepada pokok bahwa Perjanjian Hudai-biyah itu tidak hanya akan terbukti menjadi kemenangan besar melainkan juga keme-nangan-kemenangan lain pun kemudian akan menyusul dan negeri-negeri tetangga akan jatuh ke tangan lasykar Islam yang jaya. Firman-Nya:

بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿۱ اِنَّا فَتَحۡنَا لَکَ فَتۡحًا مُّبِیۡنًا ۙ﴿۲

Aku baca dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah memberi engkau satu kemenangan nyata (Al-Fath [48]:1-2).

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa yang diisyaratkan oleh kata-kata "kemenangan nyata" nampaknya "Perjanjian Hudaibiyah." Sungguh aneh bahwa walaupun selama masa singkat yaitu 6 tahun permulaan ketika Nabi Besar Muhammad saw. tinggal di kota Medinah, beliau saw. telah mendapat kemenangan-kemenangan besar atas musuh-musuh beliau saw. sehingga telah melumpuhkan dan mematahkan daya juang mereka, namun demikian tidak satu pun dari kemenangan-kemenangan itu disebut "kemenangan nyata" di dalam Al-Quran.

Sebutan itu dicadangkan untuk “Perjanjian Hudaibiyah” guna menerima kehormatan luar biasa ini, kendatipun syarat-syarat (dalam perjanjian) pada lahirnya nampak sangat merendahkan derajat dan orang-orang Muslim sangat bingung atas peristiwa yang nampaknya sebagai suatu penghinaan terhadap kehormatan Islam, demikian rupa hingga bahkan seorang yang gagah seperti Sayyidina Umar bin Khaththab r.a. berseru karena sedih dan jengkelnya bahwa andaikata syarat-syarat Perjanjian itu telah ditetapkan oleh orang lain selain Nabi Besar Muhammad saw. niscaya beliau akan mencemoohkan syarat-syarat itu (Hisyam)

Sungguh Perjanjian itu merupakan kemenangan besar, sebab telah membuka jalan bagi pengembangan dan penyebaran Islam serta menjurus kepada jatuhnya kota Mekkah dan akhirnya kepada penundukkan seluruh wilayah tanah Arab. Peristiwa itu ternyata merupakan keunggulan siasat Nabi Besar Muhammad saw., karena dengan Perjanjian itu Islam mempunyai "kedudukan politik sebagai satu kekuatan yang semartabat dan merdeka serta berdaulat yang diakui oleh kaum Quraisy" ("Mohammad at Medinah" oleh Montgomery Watt).

Melihat Kasyaf Melakukan Thawaf di Mekkah

Nabi Besar Muhammad saw. telah melihat sebuah kasyaf bahwa beliau saw. sedang bertawaf bersama serombongan sahabat beliau saw... Guna menggenapi kasyaf itu bertolaklah beliau saw. ke Mekkah dengan sejumlah kira-kira 1500 orang Islam untuk mengerjakan umrah dalam bulan suci yang selama bulan itu — menurut adat kebiasaan orang-orang Arab — peperangan terlarang, dan hal itu malahan berlaku juga sebelum Islam. Tatkala beliau saw. tiba di 'Usfan, suatu tempat yang terletak beberapa mil dari Mekkah, beliau diberi kabar oleh regu perintis yang dikirim beliau saw. di bawah pimpinan 'Abbad bin Bisyr, bahwa kaum Quraisy berniat menghambat beliau saw. masuk ke kota Mekkah.

Untuk menghindari bentrokan senjata Nabi Besar Muhammad saw. mengubah haluan beliau saw. dan "sesudah menempuh perjalanan yang melelahkan melalui jalan berkelok-kelok lagi sukar ditempuh sampailah beliau ke Hudaibiyah," di sana beliau berkemah. Nabi Besar Muhammad saw. menyatakan bahwa beliau saw. akan menerima segala tuntutan orang-orang Quraisy demi kehormatan Tanah Suci (Hisyam), tetapi orang-orang Quraisy bersikeras dalam tekad mereka untuk tidak membiarkan beliau saw. memasuki kota Mekkah, biar apa pun yang dikatakan beliau.

Kedua belah pihak saling mengirimkan pesan dalam upaya mencari pemecahan sebagai jalan keluar dari kemacetan perundingan itu. Sesudah dilangsungkan pembicaraan-pembicaraan panas dan berlarut-larut yang diusahakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. dengan segala daya upaya, bahkan dengan mempertaruhkan kewibawaan beliau saw. sendiri agar dapat sampai kepada suatu kompromi yang pantas dengan kaum Quraisy maka ditanda-tanganilah persetujuan yang syarat-syaratnya antara lain berbunyi: "Peperangan harus ditangguhkan selama 10 tahun. Barangsiapa ingin menggabungkan diri kepada Rasulullah saw. atau mengadakan perjanjian dengan beliau saw., akan mendapat keleluasaan berbuat demikian, dan demikian pula siapa yang mau menggabungkan dengan kaum Quraisy atau mengadakan perjanjian dengan mereka, ia akan bebas berbuat demikian. Jika seorang beriman dari Mekkah pindah dan menggabungkan diri dengan Rasulullah saw. tanpa izin walinya ia harus dikembalikan kepada walinya, tetapi kalau ada seseorang pengikut Rasulullah saw. kembali kepada kaum Quraisy maka ia tidak boleh dikirimkan kembali. Rasulullah saw. harus pulang kembali tanpa memasuki kota pada tahun ini. Tahun depan beliau dan para sahabat dapat berkunjung ke Mekkah hanya selama tiga hari untuk mengerjakan umrah, tetapi mereka tidak boleh membawa senjata kecuali pedang-pedang bersarung" (Bukhari).

Syarat-syarat itu nampaknya merupakan penghinaan besar. Orang-orang Islam sangat bingung. Tidak ada kata memadai untuk melukiskan keprihatinan mereka dan rasa terhina serta rasa harga diri mereka yang ternoda. Teristimewa syarat yang ketigalah dirasakan pahit sepahit empedu. Tetapi Nabi Besar Muhammad asw. tetap tenang dan berkepala dingin. Oleh karena yakin akan kekuatan moral Islam, beliau saw. mengetahui bahwa "seorang beriman yang telah sekali mencicipi manisnya keimanan akan lebih suka dilemparkan ke dalam api daripada kembali kepada kekafiran" (Bukhari), dan bahwa ia akan membuktikan diri menjadi sumber kekuatan bagi agamanya di mana pun ia berada.

Perjanjian Hudaibiyah terbukti kemudian menjadi "kemenangan yang nyata." Para sahabat Nabi Besar Muhammad saw. sewajarnya merasa bangga atas kehadiran mereka pada peristiwa itu, dan tepat sekali memandang Perjanjian itu — dan bukan peristiwa penaklukan Mekkah — sebagai "kemenangan yang diisyaratkan dalam ayat ini" (Bukhari).

Menurut mereka tidak ada kemenangan yang lebih besar dan lebih jauh jangkauannya dalam hasil dan pengaruhnya daripada Perjanjian itu (Hisyam). Dan Nabi Besar Muhammad saw. sendiri menyebutnya kemenangan besar (Baihaqi). Al-Quran menyebutnya "kemenangan nyata" (ayat 2), "keberhasilan besar" (ayat 6), "ganjaran besar" (ayat 11) dan penggenapan serta penyempurnaan nikmat Ilahi atas Nabi Besar Muhammad saw. (ayat 3) sebab peristiwa itu membukakan pintu-air-kemenangan ruhani dan politik agama Islam.

(Bersambung)

Rujukan:

The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid


Tidak ada komentar:

Posting Komentar