Senin, 10 Oktober 2011

Kesinambungan Kedatangan Rasul- rasul Allah


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


HUBUNGAN KISAH MONUMENTAL

"ADAM, MALAIKAT, IBLIS"

DENGAN

SURAH AL-IKHLASH, AL-FALAQ, DAN AL-NAAS

Bagian XV


Tentang

Kesinambungan Kedatangan Rasul-rasul Allah

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma



فَتَلَقّٰۤی اٰدَمُ مِنۡ رَّبِّہٖ کَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَیۡہِ ؕ اِنَّہٗ ہُوَ التَّوَّابُ الرَّحِیۡمُ ﴿۳۹

Lalu Adam mempelajari beberapa kalimat [doa] dari Tuhan-nya, maka Dia menerima taubatnya, sesungguhnya Dia benar-benar Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. (Al-‘Araaf [7]:24).

Dalam Bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai makna beberapa kalimat yang diajarkan Allah Swt. kepada Adam a.s. dan istrinya atau jamaahnya sebelum diperintahkan hijrah dari jannah, dan firman berikut ini lebih menjelaskan yang dimaksud kalimat yang dipelajari oleh Adam a.s. dari Allah Swt., yakni doa mohon pengampunan, firman-Nya:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَاۤ اَنۡفُسَنَا ٜ وَ اِنۡ لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَ تَرۡحَمۡنَا لَنَکُوۡنَنَّ مِنَ الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿۲۳

Keduanya berkata: ”Wahai Tuhan kami, kami telah berlaku zalim terhadap diri kami, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan mengasihi kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang rugi.” (Al-‘Araaf [7]:24).

Adam a.s. segera menyadari kekeliruan beliau lalu cepat-cepat kembali rujuk kepada Allah Swt., dan taubat. Sesungguhnya kesalahan Adam a.s. terletak pada anggapan beliau bahwa "manusia syaitan" itu bermaksud baik, sungguh pun Allah Swt. telah memperingatkan beliau agar jangan berurusan dengan orang itu, yakni "manusia syaitan".

Mengisyaratkan kepada kekeliruan pertimbangan mengambil keputusan -- akibat kekurangan pengetahuan -- yang telah dialami oleh Nabi Adam a.s. itulah firman Allah Swt. berikut ini kepada Nabi Besar Muhammad saw., yaitu memohon tambahan ilmu pengetahuan, firman-Nya:

وَ کَذٰلِکَ اَنۡزَلۡنٰہُ قُرۡاٰنًا عَرَبِیًّا وَّ صَرَّفۡنَا فِیۡہِ مِنَ الۡوَعِیۡدِ لَعَلَّہُمۡ یَتَّقُوۡنَ اَوۡ یُحۡدِثُ لَہُمۡ ذِکۡرًا ﴿۱۱۳ فَتَعٰلَی اللّٰہُ الۡمَلِکُ الۡحَقُّ ۚ وَ لَا تَعۡجَلۡ بِالۡقُرۡاٰنِ مِنۡ قَبۡلِ اَنۡ یُّقۡضٰۤی اِلَیۡکَ وَحۡیُہٗ ۫ وَ قُلۡ رَّبِّ زِدۡنِیۡ عِلۡمًا ﴿۱۱۴ وَ لَقَدۡ عَہِدۡنَاۤ اِلٰۤی اٰدَمَ مِنۡ قَبۡلُ فَنَسِیَ وَ لَمۡ نَجِدۡ لَہٗ عَزۡمًا ﴿۱۱۵﴾٪

Dan demikianlah Kami telah menurunkannya Al-Quran dalam bahasa Arab dan Kami telah menerangkan berulang-ulang di dalamnya berbagai macam ancaman supaya mereka bertakwa atau [supaya] perkataan ini mengingatkan mereka. Maka Mahatinggi Allah, Raja Yang Haq. Dan janganlah engkau tergesa-gesa membaca Al-Quran sebelum pewahyuannya dilengkapkan kepada engkau, dan katakanlah: "Ya Tuhan‑ku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." Dan sungguh Kami benar-benar telah membuat perjanjian dengan Adam sebelum ini tetapi ia telah lupa dan Kami tidak mendapatkan padanya tekad untuk berbuat dosa. (Thaa Haa [20]:114-116).

Ada pun yang menarik dari firman Allah Swt. mengenai doa memohon tambahan ilmu pengetahuan tersebut pun dihubungan dengan Kisah Monumental Adam, Malaikat dan Iblis. Walau pun penjelasan ayat-ayat ini telah dikemukakan pada Bab-bab sebelumnya, namun untuk mengingatkan kembali maka penulis perlu mengemukakannya lagi. Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah bersabda: "Carilah ilmu pengetahuan sekalipun mungkin ditemukannya jauh di rantau Cina" (Shagir, jilid I). Di tempat lain dalam Al-Quran telah dilukiskan sebagai "karunia Allah yang sangat besar" (QS.2:270 & QS.4:114). Ilmu itu ada dua macam: (a) ilmu yang dianugerahkan kepada manusia dengan perantaraan wahyu dan yang telah mencapai kesempurnaan dalam wujud Al-Quran. (b) ilmu yang didapatkan oleh manusia dengan usaha dan jerih-payahnya sendiri.

Kekeliruan dalam Pertimbangan

Ayat tersebut menunjukkan bahwa kealpaan Nabi Adam a.s. hanyalah disebabkan oleh kekeliruan dalam pertimbangan. Kekeliruan itu tanpa disengaja dan sama sekali tidak dengan suatu niat atau kehendak. Manusia tidak luput dari kesalahan, firman-Nya: “Dan sungguh Kami benar-benar telah membuat perjanjian dengan Adam sebelum ini tetapi ia telah lupa dan Kami tidak mendapatkan padanya tekad untuk berbuat dosa. (Thaa Haa [20]: 116).

Setelah mengemukakan ayat mengenai mohon tambahan ilmu pengetahuan, selanjutnya Allah Swt. berfirman tentang Monumental "Adam, Malaikat, Iblis", hal tersebut merupakan bukti bahwa pada hakikatnya Nabi Adam a.s. tidak melakukan kedurhakaan dengan sengaja terhadap larangan Allah Swt. melainkan hanya karena kekeliruan dalam pertimbangan berkenaan dengan bujukan syaitan yang penuh dengan tipu-daya serta disertai sumpah:

وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰی ﴿۱۱۷ فَقُلۡنَا یٰۤـاٰدَمُ اِنَّ ہٰذَا عَدُوٌّ لَّکَ وَ لِزَوۡجِکَ فَلَا یُخۡرِجَنَّکُمَا مِنَ الۡجَنَّۃِ فَتَشۡقٰی ﴿۱۱۸ اِنَّ لَکَ اَلَّا تَجُوۡعَ فِیۡہَا وَ لَا تَعۡرٰی ﴿۱۱۹ۙ وَ اَنَّکَ لَا تَظۡمَؤُا فِیۡہَا وَ لَا تَضۡحٰی ﴿۱۲۰

Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah yakni tunduk patuhlah kamu kepada Adam," maka mereka sujud kecuali iblis, ia menolak. Lalu Kami berfirman: "Hai Adam, sesungguhnya orang ini (iblis) adalah musuh bagi engkau dan bagi istri engkau, maka jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari kebun maka kamu menderita kesulitan. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di dalam­nya dan tidak pula engkau akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan kehausan di dalamnya dan tidak pula akan disengat panas matahari. (Thaa Haa [20]:117-120).

Ayat selanjutnya menjelaskan bahwa Nabi Adam a.s. diperingatkan bahwa jika beliau menyerah kepada bujukan syaitan dan menerima nasihatnya maka beliau akan menjadi mahrum (luput) dari jannah, yaitu kehidupan berbahagia dan ketenteraman ruhani yang sebelumnya telah beliau nikmati.

Isyarat dalam ayat ini dan dalam ayat sebelumnya, nampaknya ditujukan kepada kemudahan dan kesenangan yang tidak terpisahkan dari kehidupan beradab. Dua ayat ini mengisyaratkan kepada kenyataan bahwa penyediaan pangan, sandang, dan perumahan bagi rakyat — sarana-sarana keperluan hidup yang pokok — merupakan tugas utama bagi suatu pemerintah beradab, dan bahwa suatu masyarakat baru dapat dikatakan masyarakat beradab, bila semua warga masyarakat itu dicukupi keperluan-keperluan tersebut di atas.

Umat manusia akan terus menderita dari pergolakan-pergolakan sosial dan warna akhlak masyarakat umat manusia tidak akan mengalami perbaikan hakiki, selama kepincangan yang parah di bidang ekonomi — yaitu sebagian lapisan masyarakat berkecimpung dalam kekayaan, sedang sebagian lainnya coati kelaparan — tidak dihilangkan.

Nabi Adam a.s. diberitahukan di sini bahwa beliau akan tinggal di sebuah tempat yang karena suburnya maka Allah Swt. menyebutnya jannah, sedangkan di sekitarnya adalah hamparan gurun pasir yang sangat luas. di mana dalam jannah tersebut kesenangan dan keperluan hidup akan tersedia dengan secukupnya bagi semua penduduknya. Keadaan ini telah dijelaskan di tempat lain dalam Al-Quran dengan kata-kata “dan makanlah darinya sepuas hati di mana pun kamu berdua suka” (QS.2:36).
Ayat yang sedang dibahas ini menunjukkan pula, bahwa semenjak Nabi Adam a.s. mulailah suatu tata-tertib dalam kemasyarakatan yang baru, dan bahwa beliau meletakkan dasar pemerintahan yang meratakan jalan bagi masa kemajuan manusia dalam bidang kemasyarakatan.

فَوَسۡوَسَ اِلَیۡہِ الشَّیۡطٰنُ قَالَ یٰۤـاٰدَمُ ہَلۡ اَدُلُّکَ عَلٰی شَجَرَۃِ الۡخُلۡدِ وَ مُلۡکٍ لَّا یَبۡلٰی ﴿۱۲۱ فَاَکَلَا مِنۡہَا فَبَدَتۡ لَہُمَا سَوۡاٰتُہُمَا وَ طَفِقَا یَخۡصِفٰنِ عَلَیۡہِمَا مِنۡ وَّرَقِ الۡجَنَّۃِ ۫ وَ عَصٰۤی اٰدَمُ رَبَّہٗ فَغَوٰی ﴿۱۲۲﴾۪ۖ

Maka syaitan membisik­kan waswas kepadanya. Ia ber­kata: "Hai Adam, maukah aku tunjukkan kepada engkau pohon kekekalan dan kerajaan yang tidak akan binasa?" Maka keduanya makan darinya, lalu tampak­lah bagi mereka berdua kelemahan-­kelemahan mereka, dan ke­duanya menutupi badan mereka dengan waraq (daun-daun jannah), dan Adam telah mendurhakai Tuhan-nya maka ia menderita. (Thaa Haa [121-122).

Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab-bab sebelumnya bahwa di dunia ini tidak terdapat pohon yang disebut pohon khuld (pohon kekekal­an). Pohon seperti yang disebut di sini dan di tempat-tempat lain dalam Al-Quran adalah keluarga atau suku tertentu, dan Nabi Adam a.s. dinasihati agar menjauhkan diri darinya karena anggota-anggota keluarga atau warga suku itu adalah musuh beliau.

Timbulnya Perpecahan Dalam Jamaah Nabi Adam a.s.

Sebagai akibat penolakan Nabi Adam, a.s. terhadap ajakan-ajakan syaitan terjadilah perpecahan di antara kaum beliau, sehingga menyebabkan beliau sangat sedih dan cemas hati. Nabi Adam a.s. dan istrinya menyadari bahwa dengan mengikuti ajakan buruk syaitan itu mereka telah membuat kesalahan besar dan telah menjerumuskan diri mereka ke dalam keadaan yang amat sulit. Ayat ini tidak berarti bahwa kelemahan mereka telah dimaklumi (diketahui) orang lain, tetapi yang dimaksudkan hanyalah bahwa Adam a.s. dan Siti Hawa sendiri menjadi sadar akan kelemahan mereka itu.

Karena waraq berarti pula tunas-tunas muda suatu jemaat (Lexicon Lane), maka ayat ini bermaksud mengemukakan bahwa karena syaitan telah berhasil mendatangkan perpecahan di tengah-tengah Jemaat Nabi Adam a.s., dan beberapa anggota yang lemah wataknya telah keluar dari lingkungannya, maka Nabi Adam a.s. menghimpun para pemuda dan anggota-anggota jemaat beliau lainnya yang baik dan shalih,dan dengan bantuan mereka beliau menertibkan lagi kaumnya. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:

ثُمَّ اجۡتَبٰہُ رَبُّہٗ فَتَابَ عَلَیۡہِ وَ ہَدٰی ﴿۱۲۳

Kemudian Tuhan-nya memilihnya maka Dia menerima taubat-nya dan memberi petunjuk. (Thaa Haa [20]:123).

Ayat ini menunjukkan bahwa perbuatan melanggar perintah dari pihak Adam a.s. itu tidak disengaja dan telah terjadi secara kebetulan, sebab pelanggaran yang disengaja tidak mungkin mengakibatkan beliau malah memperoleh kehormatan besar dengan dipilih Allah SWt. untuk menerima karunia­-Nya yang istimewa.

Kedatangan Petunjuk dari Allah Swt.

Kemudian setelah Allah Swt. memilihnya dan memberi karunia-Nya lalu Allah Swt. memerintahkan Adam a.s. dan para pengikut beliau untuk hijrah dari jannah, karena kehidupan di dalamnya tidak lagi kondusif untuk melakukan pembinaan kaumnya karena telah timbul pertentangan di kalangan kaumnya:

قَالَ اہۡبِطَا مِنۡہَا جَمِیۡعًۢا بَعۡضُکُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ ۚ فَاِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ مِّنِّیۡ ہُدًی ۬ۙ فَمَنِ اتَّبَعَ ہُدَایَ فَلَا یَضِلُّ وَ لَا یَشۡقٰی ﴿۱۲۴

Dia berfirman: “Pergilah kamu berdua semuanya dari sini, sebagian kamu musuh bagi sebagian yang lain. Maka apabila datang kepadamu petunjuk dari­-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku maka ia tidak akan sesat, dan tidak pula ia akan menderita kesusahan. (Thaa Haa [20]:124) .

Perkataan "kamu berdua" maksudnya ialah dua golongan manusia, yaitu para pengikut Nabi Adam a.s. dan murid-murid syaitan. Kata kum (kamu) dan jami’ (semua) juga menunjukkan bahwa saat itu tidak ditujukan kepada dua orang melainkan kepada dua golongan manusia atau dua partai. Hal itu jelas pula dari QS.7:25, di tempat itu telah dipakai kata jamak ihbithaa (pergilah kamu semua) dan bukan ihbitha (pergilah kamu berdua). Ringkasnya, Nabi Adam a.s. hijrah dari Irak, tanah air beliau, ke suatu negeri tetangga.

Rupanya hijrah itu hanya untuk sementara waktu saja dan besar kemungkinan tidak lama kemudian beliau kembali ke tanah air beliau. Kata-kata “dan bekal hidup sampai suatu masa tertentu” (QS.7:25) mengandung isyarat bahwa hijrah itu dimaksudkan hanya untuk sementara waktu.

Ada pun maksud kalimat selanjutnya: “Maka apabila datang kepada kamu petunjuk dari­-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, maka ia tidak akan sesat, dan ia tidak akan menderita kesusahan adalah mengisyaratkan kepada firman Allah Swt. mengenai kesinambungan kedatangan para Rasul Allah dari kalangan Bani Adam, sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab-bab awal uraian ini, firman-Nya:

وَ لِکُلِّ اُمَّۃٍ اَجَلٌ ۚ فَاِذَا جَآءَ اَجَلُہُمۡ لَا یَسۡتَاۡخِرُوۡنَ سَاعَۃً وَّ لَا یَسۡتَقۡدِمُوۡنَ ﴿۳۵ یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ اِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ رُسُلٌ مِّنۡکُمۡ یَقُصُّوۡنَ عَلَیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ ۙ فَمَنِ اتَّقٰی وَ اَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿۳۶ وَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿۳۷

Dan bagi tiap-tiap umat ada batas waktu, maka apabila telah datang batas waktu mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula dapat memajukannya. Wahai Bani Adam, jika datang kepada kamu rasul-rasul dari antaramu yang menceritakan Ayat-ayat-Ku kepadamu, maka barangsiapa bertakwa dan memperbaiki diri, tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati. Dan orang-orang yang mendustakan Ayat-ayat Kami dan dengan takabur berpaling darinya, mereka itu penghuni Api, mereka kekal di dalamnya. (Al-‘Araaf [7]:35-37).

Orang-orang yang Buta Mata Ruhaninya

Selaras dengan firman Allah Swt. tersebut, selanjutnya Allah Swt. menjelaskan bahwa orang-orang yang mendustakan serta menentang para Rasul Allah yang dibangkitkan di kalangan mereka sendiri – yakni mereka yang menolak petunjuk yang datang dari Allah Swt. dan berlaku takabbur terhadapnya – maka mereka dikatakan sebagai orang-orang yang berpaling dari mengingat Allah Swt., firman-Nya:

وَ مَنۡ اَعۡرَضَ عَنۡ ذِکۡرِیۡ فَاِنَّ لَہٗ مَعِیۡشَۃً ضَنۡکًا وَّ نَحۡشُرُہٗ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ اَعۡمٰی ﴿۱۲۵

Dan barangsiapa ber­paling dari mengingat Aku maka sesungguhnya baginya ada kehidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (Thaa Haa [20]:125).

Seseorang yang sama sekali tidak ingat kepada Allah di dunia serta menjalani cara hidup yang menghalangi dan menghambat perkembangan ruhaninya, dan dengan demikian membuat dirinya tidak layak menerima nur dari Allah Swt. akan dilahirkan dalam keadaan buta di waktu kebangkitannya kembali pada kehidupan di akhirat (QS.17:73) Hal itu menjadi demikian karena ruhnya di dunia ini - yang akan berperan sebagai badan bagi ruh yang lebih maju ruhaninya di alam akhirat - telah menjadi buta, sebab ia telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa di dunia ini, firman-Nya:

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِیۡۤ اَعۡمٰی وَ قَدۡ کُنۡتُ بَصِیۡرًا ﴿۱۲۶ قَالَ کَذٰلِکَ اَتَتۡکَ اٰیٰتُنَا فَنَسِیۡتَہَا ۚ وَکَذٰلِکَ الۡیَوۡمَ تُنۡسٰی ﴿۱۲۷ وَ کَذٰلِکَ نَجۡزِیۡ مَنۡ اَسۡرَفَ وَ لَمۡ یُؤۡمِنۡۢ بِاٰیٰتِ رَبِّہٖ ؕ وَ لَعَذَابُ الۡاٰخِرَۃِ اَشَدُّ وَ اَبۡقٰی ﴿۱۲۸

Ia berkata: "Ya Tuhan­ku, mengapa Engkau mem­bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal sesungguhnya dahulu aku dapat melihat? Dia berfirman: "Demi­kianlah telah datang kepadamu Tanda-tanda Kami, tetapi engkau melupakannya dan demikian pula engkau dilupakan pada hari ini." Dan demikianlah Kami memberi balasan orang yang me­langgar dan ia tidak beriman kepada Tanda-tanda Tuhan-nya, dan niscaya azab akhirat itu lebih keras dan lebih kekal. (Thaa Haa [20]:126-128).

Sebagai jawaban terhadap keluhan atau protes orang kafir mengapa ia dibangkitkan buta padahal dalam kehidupan sebelumnya ia memiliki penglihatan, Allah Swt. akan mengatakan bahwa ia telah menjadi buta ruhani dalam kehidupannya didunia sebab telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa, dan karena itu ruhnya — yang akan berperan sebagai tubuh untuk ruh lain yang ruhaninya jauh lebih berkembang di akhirat maka di hari kemudian (di Akhirat) ia dilahirkan (dibangkitkan) dalam keadaan buta, firman-Nya:

وَ مَنۡ کَانَ فِیۡ ہٰذِہٖۤ اَعۡمٰی فَہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ اَعۡمٰی وَ اَضَلُّ سَبِیۡلًا ﴿۷۳

Dan barangsiapa buta di [dunia] ini maka di akhirat pun ia akan buta juga dan bahkan lebih tersesat dari jalan. (Bani Israil [17]:72-73).

Orang-orang yang tidak mempergunakan mata ruhani mereka dengan cara yang wajar di dunia ini akan tetap luput dari penglihatan ruhani di alam akhirat. Al-Quran menyebut mereka yang tidak merenungkan Tanda-tanda Allah serta tidak memperoleh manfaat darinya “buta”. Orang-orang seperti itu di alam akhirat pun akan tetap dalam keadaan buta.

Ayat ini dapat pula berarti bahwa karena orang kafir tidak mengembangkan dalam dirinya sifat-sifat Ilahi dan tetap asing dari sifat-sifat itu, maka pada hari kebangkitan — ketika sifat-sifat Ilahi itu akan dinampakkan dengan segala keagungan dan kemuliaan — ia sebagai seseorang yang terasing dari sifat­-sifat Ilahi itu tidak akan mampu mengenalnya dan dengan demikian akan berdiri seperti orang buta yang tidak mempunyai ingatan atau kenangan sedikit pun kepada sifat-sifat Ilahi itu.

Ayat ini menunjukkan bahwa Adam a.s. diperintahkan supaya berhijrah dari tanah tumpah darah beliau, sebab suasana permusuhan dan benci-membenci telah tumbuh di tengah berbagai anggota jemaat beliau. Hal itu merupakan bukti lebih lanjut tentang kenyataan bahwa “kebun” yang daripadanya Adam a.s. keluar atau hijrah itu, bukanlah surga. Rupa-rupanya Adam a.s. hijrah dari Mesopotamia, tanah kelahiran beliau, ke negeri yang berdekatan.

Hijrah Adam a.s. tersebut bersifat sementara dan beliau agaknya telah kembali lagi ke negeri tempat asal, tidak lama sesudah itu. Sungguh, kata-kata bekal hidup sampai suatu masa tertentu mengandung isyarat halus tentang hijrah yang bersifat sementara itu. Adam a.s. diperingatkan dalam ayat ini agar berhati-hati di masa depan, sebab adalah di tanah air sendirilah – yakni dalam “jannah” (kebun) -- beliau harus tinggal untuk selama-lamanya. Selanjutnya Allah Swt. berfirman:

اَفَلَمۡ یَہۡدِ لَہُمۡ کَمۡ اَہۡلَکۡنَا قَبۡلَہُمۡ مِّنَ الۡقُرُوۡنِ یَمۡشُوۡنَ فِیۡ مَسٰکِنِہِمۡ ؕ اِنَّ فِیۡ ذٰلِکَ لَاٰیٰتٍ لِّاُولِی النُّہٰی ﴿۱۲۹﴾٪

Maka apakah tidak mem­beri petunjuk kepada mereka berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, mereka berjalan-jalan di tempat-tempat tinggal mereka yang telah hancur? Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu benar-benar ada Tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Thaa Haa [20]:129).



(Bersambung)

Rujukan:


The Holy Quran
, editor Malik Ghulam Farid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar