Rabu, 12 Oktober 2011

Perbedaan Keadaan Dua Macam "Jannah"


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


HUBUNGAN KISAH MONUMENTAL

"ADAM, MALAIKAT, IBLIS"

DENGAN

SURAH AL-IKHLASH, AL-FALAQ, DAN AL-NAAS

Bagian XVII


Tentang

Perbedaan Keadaan Jannah (Kebun) dengan

Keadaan Sarang Laba-laba

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


وَ قُلۡنَا یٰۤاٰدَمُ اسۡکُنۡ اَنۡتَ وَ زَوۡجُکَ الۡجَنَّۃَ وَ کُلَا مِنۡہَا رَغَدًا حَیۡثُ شِئۡتُمَا ۪ وَ لَا تَقۡرَبَا ہٰذِہِ الشَّجَرَۃَ فَتَکُوۡنَا مِنَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿۳۶

Dan Kami berfirman: “Hai Adam, tinggallah engkau dan isteri engkau dalam jannah (kebun) ini, dan makanlah darinya sesuka hati di mana pun kamu berdua kehendaki, tetapi janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, maka [jika tidak mentaati] kamu berdua akan menjadi orang-orang zalim. (Al-Baqarah [2]:36).

Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab-bab sebelumnya, bahwa setelah Allah Swt. memerintahkan kepada para malaikat untuk sujud -- yakni patuh taat serta membantu perjuangan suci Adam a.s. -- lalu Allah Swt. memerintahkan Adam a.s. dan istrinya atau kaumnya untuk memasuki suatu wilayah di Timur Tengah yang karena kesuburan tanahnya disebut jannah (kebun), yang dalam Bible disebut "Taman Eden", sebagaimana firman-Nya pada awal Bab ini.

Dalam surah lainnya ungkapan kalimat "makanlah darinya sesuka hati dimana pun kamu berdua kehendaki" yang menggambarkan berlimpah-ruahnya SDA (Sumber Daya Alam) yang tersedia di wilayah yang disebut jannah tersebut digambarkan sebagai berikut:

وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰی ﴿۱۱۷ فَقُلۡنَا یٰۤـاٰدَمُ اِنَّ ہٰذَا عَدُوٌّ لَّکَ وَ لِزَوۡجِکَ فَلَا یُخۡرِجَنَّکُمَا مِنَ الۡجَنَّۃِ فَتَشۡقٰی ﴿۱۱۸ اِنَّ لَکَ اَلَّا تَجُوۡعَ فِیۡہَا وَ لَا تَعۡرٰی ﴿۱۱۹﴾ۙ وَ اَنَّکَ لَا تَظۡمَؤُا فِیۡہَا وَ لَا تَضۡحٰی ﴿۱۲۰

Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah yakni tunduk patuhlah kamu kepada Adam," maka mereka sujud kecuali iblis, ia menolak. Lalu Kami berfirman: "Hai Adam, sesungguhnya orang ini adalah musuh bagi engkau dan bagi istri engkau, maka ia jangan sampai mengeluarkan kamu berdua dari jannah (kebun) lalu kamu menderita kesulitan. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di dalam­nya dan tidak pula engkau akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan kehausan di dalamnya dan tidak pula akan disengat panas mata-hari (Thaa Haa [20]:117-120).

Untuk sekedar mengingatkan kembali pejelasan yang telah dikemukakan dalam Bab-bab sebelumnya, kata jannah (kebun, taman) yang tercantum pada ayat ini, tidak memberi isyarat kepada surga yang akan dimasuki para ahli surga di alam akhirat setelah mereka mengalami kematian, melainkan hanya kepada tempat yang keadaannya seperti kebun, yaitu tempat yang sangat subur untuk pertama kali Adam a.s. disuruh tinggal.

Hubungan Kata Jannah dengan kata Jin , Janin, Junnatun (Perisai)

Kata jannah itu tidak dapat ditujukan kepada surga: pertama, karena di bumi inilah Adam a.s. disuruh tinggal (QS.2:37); kedua, surga adalah tempat yang bila seseorang sudah memasukinya tidak pernah dikeluarkan lagi (QS.15:49), sedangkan Adam a.s. diperintahkan meninggalkan jannah (kebun) itu, seperti dituturkan dalam ayat ini. Hal itu menunjukkan bahwa jannah atau kebun tempat untuk pertama kalinya Adam a.s. tinggal adalah tempat di bumi ini juga, yang telah diberi nama jannah (kebun) karena kesuburan tanahnya dan penuh dengan tumbuh-tumbuhan. Penyelidikan akhir-akhir ini telah membuktikan bahwa tempat itu Taman Eden yang terletak dekat Babil di Irak atau Assyria (Encyclopaedia Britanica pada “Ur”).

Kata jannah memiliki hubungan dengan kata jinn atau pun dengan kata junnatun (perisai/tameng), jinnatun (kerasukan jin/gila), kata janin, yang erat hubungannya dengan ketersembunyian dan keterpeliharaan dari bahaya. Semua kata tersebut memiliki akar kata yang sama yakni janna, yang artinya antara lain: menjadi gelap, menutupi, menyembunyikan, tutup, tabir, kain kafan, yang mengisyaratkan sesuatu yang tersembunyi di bagian dalam, termasuk hati dan ruh (jiwa).

Firman Allah Swt. berikut ini lebih memperjelas lagi penggunaan kata jannah mengenai tempat tinggal Adam a.s. dan istrinya yakni sebuah wilayah yang sangat subur dan rimbun dengan berbagai pepohonan, karena orang yang berada di tempat yang seperti itu maka ia bukan saja akan terlindung dari tiupan angin dan sengatan panas cahaya matahari, bahkan akan terhindar dari kelaparan dan kehausan, sebab tempat subur seperti itu pasti pohon-pohonnya akan penuh dengan berbagai macam buah-buahan dan mata-mata air yang mengalir, firman-Nya:

وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰی ﴿۱۱۷ فَقُلۡنَا یٰۤـاٰدَمُ اِنَّ ہٰذَا عَدُوٌّ لَّکَ وَ لِزَوۡجِکَ فَلَا یُخۡرِجَنَّکُمَا مِنَ الۡجَنَّۃِ فَتَشۡقٰی ﴿۱۱۸ اِنَّ لَکَ اَلَّا تَجُوۡعَ فِیۡہَا وَ لَا تَعۡرٰی ﴿۱۱۹﴾ۙ وَ اَنَّکَ لَا تَظۡمَؤُا فِیۡہَا وَ لَا تَضۡحٰی ﴿۱۲۰

Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah yakni tunduk patuhlah kamu kepada Adam," maka mereka sujud kecuali iblis, ia menolak. Lalu Kami berfirman: "Hai Adam, sesungguhnya orang ini adalah musuh bagi engkau dan bagi istri engkau, maka ia jangan sampai mengeluarkan kamu berdua dari jannah (kebun) lalu kamu menderita kesulitan. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di dalam­nya dan tidak pula engkau akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan kehausan di dalamnya dan tidak pula akan disengat panas mata-hari (Thaa Haa [20]:117-120).

Nabi Adam a.s. diperingatkan bahwa jika beliau menyerah kepada bujukan syaitan dan menerima nasihatnya maka beliau akan menjadi mahrum (luput) dari jannah, yaitu kehidupan berbahagia dan ketenteraman ruhani yang sebelumnya telah beliau nikmati.

Isyarat dalam ayat ini dan dalam ayat sebelumnya -- “Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di dalam­nya dan tidak pula engkau akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan kehausan di dalamnya dan tidak pula akan disengat panas matahari -- nampaknya ditujukan kepada kemudahan dan kesenangan yang tidak terpisahkan dari kehidupan beradab.

Dua ayat ini mengisyaratkan kepada kenyataan bahwa penyediaan pangan, sandang, dan perumahan bagi rakyat — sarana-sarana keperluan hidup yang pokok — merupakan tugas utama bagi suatu pemerintah beradab, dan bahwa suatu masyarakat baru dapat dikatakan masyarakat beradab, bila semua warga masyarakat itu dicukupi keperluan-keperluan tersebut di atas. Umat manusia akan terus menderita dari pergolakan-pergolakan sosial dan warna akhlak masyarakat umat manusia tidak akan mengalami perbaikan hakiki, selama kepincangan yang parah di bidang ekonomi — yaitu sebagian lapisan masyarakat berkecimpung dalam kekayaan, sedang sebagian lainnya mati kelaparan — tidak dihilangkan.

Nabi Adam a.s. diberitahukan di sini bahwa beliau akan tinggal di sebuah tempat di mana kesenangan dan keperluan hidup akan tersedia dengan secukupnya bagi semua penduduknya. Keadaan ini telah dijelaskan di tempat lain dalam Al-Quran dengan kata-kata “dan makanlah darinya sepuas hati di mana pun kamu berdua suka” (QS.2:36).

Ayat yang sedang dibahas ini menunjukkan pula, bahwa semenjak Nabi Adam a.s. mulailah suatu tata-tertib dalam kemasyarakatan yang baru, dan bahwa beliau meletakkan dasar pemerintahan yang meratakan jalan bagi masa kemajuan manusia dalam bidang kemasyarakatan.

“Kebun-kebun” dan “Sungai-sungai” Ganjaran bagi Orang-orang yang Beriman dan Beramal Saleh

Ada pun yang menarik adalah bahwa surga di alam akhirat yang akan merupakan ganjaran bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh pun disebut jannah, firman-Nya:

وَ بَشِّرِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿۲۷

Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa sesungguhnya untuk mereka ada jannaah (kebun-kebun) yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai rezeki, mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami sebelumnya , akan diberikan kepada mereka yang serupa dengannya, dan bagi mereka di dalamnya ada jodoh-jodoh yang suci, dan mereka akan kekal di dalamnya. (Al-Baqarah [2]:26).

Al-Quran mengajarkan bahwa tiap-tiap makhluk memerlukan pasangan (jodoh) untuk perkembangannya yang sempurna. Di dalam surga orang-orang bertakwa laki-laki dan perempuan akan mendapat jodoh suci untuk menyempurnakan perkembangan ruhani dan melengkapkan kebahagiaan mereka. Macam apakah jodoh itu hanya dapat diketahui kelak di akhirat.

Ayat ini memberikan gambaran singkat mengenai ganjaran yang akan diperoleh orang-orang beriman di akhirat. Para kritikus Islam telah melancarkan berbagai keberatan atas lukisan atau perumpamaan itu. Kecaman-kecaman itu disebabkan oleh karena sama sekali, tidak memahami ajaran Islam tentang nikmat-nikmat surgawi. Al-Quran dengan tegas mengemukakan bahwa ada di luar kemampuan alam pikiran manusia untuk dapat mengenal hakikatnya (QS.32:18). Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan pernah bersabda: “Tidak ada mata telah melihatnya, tidak ada pula telinga telah mendengarnya, dan tidak pula pikiran manusia dapat mengirakannya” (Bukhari). Sabda beliau saw. tersebut berdasarkan firman Allah Swt. berikut ini:

فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ جَزَآءًۢ بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿۱۷

Maka tidak ada satu jiwa (orang) mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai ganjaran terhadap apa yang telah mereka kerjakan (Al-Sajdah [32]:16).

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ketika Nabi Besar Muhammad saw. menggambarkan bentuk dan sifat nikmat dan kesenangan surga, beliau diriwayatkan pernah bersabda: “Tiada mata pernah melihatnya (nikmat surga itu) dan tiada pula telinga pernah mendengarnya, tidak pula pikiran manusia dapat membayangkannya” (Bukhari, Kitab Bad’al-Khalaq). Hadits itu menunjukkan bahwa nikmat kehidupan ukhrawi -- termasuk surga -- tidak akan bersifat kebendaan. Nikmat-nikmat itu akan merupakan penjelmaan-keruhanian perbuatan dan tingkah-laku baik yang telah dikerjakan orang-orang bertakwa di alam dunia ini.

Kata-kata yang dipergunakan untuk menggambarkan nikmat-nikmat itu dalam Al-Quran telah dipakai hanya dalam arti kiasan. Ayat yang sekarang pun dapat berarti bahwa karunia dan nikmat Ilahi yang akan dilimpahkan kepada orang-orang beriman yang bertakwa di alam akhirat bahkan jauh lebih baik dan jauh lebih berlimpah-limpah dari yang dikhayalkan atau dibayangkan. Nikmat-nikmat itu akan berada jauh di luar batas jangkauan daya cipta manusia.

Dengan sendirinya timbul pertanyaan: Mengapa nikmat-nikmat surga diberi nama yang biasa dipakai untuk benda-benda di bumi ini? Hal demikian adalah karena seruan Al-Quran itu tidak hanya semata-mata tertuju kepada orang-orang yang maju dalam bidang ilmu, karena itu Al-Quran mempergunakan kata-kata sederhana yang dapat dipahami semua orang.

Sama dalam Nama (Sebutan) tetapi Berbeda dalam Hakikatnya

Dalam menggambarkan karunia Ilahi, Al-Quran telah mempergunakan nama benda yang pada umumnya dipandang baik di bumi ini, dan orang-orang beriman diajari bahwa mereka akan mendapat hal-hal itu semuanya dalam bentuk yang lebih baik di alam yang akan datang. Untuk menjelaskan perbedaan penting itulah maka dipakainya kata-kata yang telah dikenal, selain itu tidak ada persamaan antara kesenangan duniawi dengan karunia-karunia ukhrawi. Tambahan pula menurut Islam kehidupan di akhirat itu tidak ruhaniah dalam artian bahwa hanya akan terdiri atas keadaan ruhani, bahkan dalam kehidupan di akhirat pun ruh manusia akan mempunyai semacam tubuh tetapi tubuh itu tidak bersifat benda (materi).

Orang dapat membuat tanggapan terhadap keadaan itu dari gejala-gejala mimpi. Pemandangan-pemandangan yang disaksikan orang dalam mimpi tidak dapat disebut keadaan pikiran atau ruhani belaka, sebab dalam keadaan itu pun ia punya jisim dan kadang-kadang ia mendapatkan dirinya berada dalam kebun-kebun dengan sungainya, makan buah-buahan, dan minum susu. Sukar untuk mengatakan bahwa isi mimpi itu hanya keadaan alam pikiran belaka. Susu yang dinikmati dalam mimpi tidak ayal lagi merupakan pengalaman yang sungguh-sungguh, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan bahwa minuman itu susu biasa yang ada di dunia ini dan diminumnya.

Nikmat-nikmat ruhani kehidupan di akhirat bukan akan berupa hanya penyuguhan subyektif dari anugerah Allah Swt. yang kita nikmati di dunia ini, bahkan apa yang kita peroleh di sini (di dunia) hanyalah gambaran anugerah nyata dan benar dari Allah Swt. yang akan dijumpai orang di akhirat. Tambahan pula bahwa “kebun-kebun“ adalah gambaran iman, sedangkan “sungai-sungai” adalah gambaran amal saleh. Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa kebun-kebun tidak dapat tumbuh subur tanpa sungai-sungai, begitu pula iman tidak dapat segar dan sejahtera tanpa perbuatan baik (amal saleh), dengan demikian untuk mencapai najat (keselamatan) iman dan amal saleh tidak dapat dipisahkan. Di akhirat kebun-kebun itu akan mengingatkan orang beriman akan imannya dalam kehidupan ini, sedangkan sungai-sungai yang mengalir akan mengingatkan kembali kepada amal salehnya maka ia akan mengetahui bahwa iman dan amal salehnya tidak sia-sia.

Keliru sekali mengambil kesimpulan dari kata-kata: "Inilah yang telah diberikan kepada kami dahulu", bahwa di surga orang-orang beriman akan dianugerahi buah-buahan semacam yang dinikmati mereka di bumi ini, sebab seperti telah diterangkan di atas keduanya tidak sama. Buah-buahan di akhirat sesungguhnya akan berupa gambaran mutu keimanannya sendiri. Ketika mereka hendak memakannya mereka segera akan mengenali dan ingat kembali bahwa buah-buahan itu adalah hasil imannya di dunia, dan karena rasa syukur atas nikmat itu mereka akan berkata: “inilah yang telah diberikan kepada kami dahulu.” Ungkapan ini dapat pula berarti “inilah apa yang telah dijanjikan kepada kami.”

Kata-kata “yang hampir serupa” tertuju kepada persamaan antara amal ibadah yang dilakukan oleh orang-orang beriman di bumi ini dan buah atau hasilnya di surga. Amal ibadah dalam kehidupan sekarang akan nampak kepada orang-orang beriman sebagai hasil atau buah di akhirat. Makin sungguh-sungguh dan makin sepadan ibadah manusia, makin banyak pula ia menikmati buah-buah yang menjadi bagiannya di surga dan makin baik pula buah-buah itu dalam nilai dan mutunya.

Jadi untuk meningkatkan mutu buah-buahan yang dikehendakinya di surga terletak pada kekuatannya sendiri. Ayat ini berarti pula bahwa makanan ruhani orang-orang beriman di surga akan sesuai dengan selera tiap-tiap orang dan taraf kemajuan serta tingkat perkembangan ruhaninya masing-masing.

Kata-kata “mereka akan kekal di dalamnya” berarti bahwa orang-orang beriman di surga tidak akan pernah mengalami sesuatu perubahan atau kemunduran. Orang akan mati hanya jika ia tidak dapat menyerap zat makanan atau bila orang lain membunuhnya. Tetapi karena makanan surgawi akan benar-benar cocok untuk setiap orang dan karena orang-orang di sana akan mempunyai kawan-kawan yang suci dan suka damai maka kematian dan kemunduran dengan sendirinya akan lenyap.

Orang-orang beriman juga akan mempunyai jodoh-jodoh suci di surga. Istri yang baik adalah sumber kegembiraan dan kesenangan. Orang-orang beriman berusaha mendapatkan istri yang baik di dunia ini dan mereka akan mempunyai jodoh-jodoh baik dan suci di akhirat. Meskipun demikian kesenangan di surga tidak bersifat kebendaan. Untuk penjelasan lebih lanjut serta lebih terinci tentang sifat dan hakikat nikmat-nikmat surga dijelaskan dalam Surah Al-Thūr, Al-Rahmān, dan Al-Wāqi’ah.

Persamaan dalam Memberikan Perlindungan dan Kenyamanan bagi Penghuninya

Demikianlah falsafah mengapa surga di dalam Al-Quran disebut jannah (kebun), yakni: “Kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai” (QS.2:26). Demikian juga tempat tinggal Adam a.s. dan istrinya pun disebut juga jannah (kebun), firman-Nya:

وَ قُلۡنَا یٰۤاٰدَمُ اسۡکُنۡ اَنۡتَ وَ زَوۡجُکَ الۡجَنَّۃَ وَ کُلَا مِنۡہَا رَغَدًا حَیۡثُ شِئۡتُمَا ۪ وَ لَا تَقۡرَبَا ہٰذِہِ الشَّجَرَۃَ فَتَکُوۡنَا مِنَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿۳۶

Dan Kami berfirman: “Hai Adam, tinggallah engkau dan isteri engkau dalam jannah (kebun) ini, dan makanlah darinya sesuka hati di mana pun kamu berdua kehendaki, tetapi janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, maka [jika tidak mentaati] kamu berdua akan menjadi orang-orang zalim. (Al-Baqarah [2]:36).

Mengenai kelimpah-ruahan sumber daya alam (SDA) yang tersedia di dalam jannah (kebun) tersebut Allah Swt. berfirman:

وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰی ﴿۱۱۷ فَقُلۡنَا یٰۤـاٰدَمُ اِنَّ ہٰذَا عَدُوٌّ لَّکَ وَ لِزَوۡجِکَ فَلَا یُخۡرِجَنَّکُمَا مِنَ الۡجَنَّۃِ فَتَشۡقٰی ﴿۱۱۸ اِنَّ لَکَ اَلَّا تَجُوۡعَ فِیۡہَا وَ لَا تَعۡرٰی ﴿۱۱۹﴾ۙ وَ اَنَّکَ لَا تَظۡمَؤُا فِیۡہَا وَ لَا تَضۡحٰی ﴿۱۲۰

Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah yakni tunduk patuhlah kamu kepada Adam," maka mereka sujud kecuali iblis, ia menolak. Lalu Kami berfirman: "Hai Adam, sesungguhnya orang ini adalah musuh bagi engkau dan bagi istri engkau, maka ia jangan sampai mengeluarkan kamu berdua dari jannah (kebun) lalu kamu menderita kesulitan. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di dalam­nya dan tidak pula engkau akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan kehausan di dalamnya dan tidak pula akan disengat panas matahari (Thaa Haa [20]:117-120).

Dengan demikian jelaslah alasan kenapa baik surga maupun tempat tinggal Adam dan istrinya yang sangat subur di wilayah Timur Tengah sama-sama disebut jannah dalam Al-Quran, hal tersebut mengisyaratkan kepada persamaan dalam hal “perlindungan” yang diberikan oleh keduanya, sebagaimana telah dijelaskan dalam sebelumnya mengenai persamaan kata dasar dari jin, jannah, junnatun (perisai), dan janin, yakni selain mengisyaratkan kepada ketersembunyian juga keterlindungan dari berbagai bahaya, sebagaimana firman-Nya sebelum ini:

اِنَّ لَکَ اَلَّا تَجُوۡعَ فِیۡہَا وَ لَا تَعۡرٰی ﴿۱۱۹﴾ۙ وَ اَنَّکَ لَا تَظۡمَؤُا فِیۡہَا وَ لَا تَضۡحٰی ﴿۱۲۰

Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di dalam­nya dan tidak pula engkau akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan kehausan di dalamnya dan tidak pula akan disengat panas matahari (Thaa Haa [20]: 120).

(Bersambung)

Rujukan:

The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar