Rabu, 12 Oktober 2011

Hubungan Kebutaan Ruhani dengan Penolakan Terhadap Para Rasul Allah


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


HUBUNGAN KISAH MONUMENTAL

"ADAM, MALAIKAT, IBLIS"

DENGAN

SURAH AL-IKHLASH, AL-FALAQ, DAN AL-NAAS

Bagian XVI


Tentang

Hubungan Kebutaan Mata Ruhani dengan Penolakan Terhadap para Rasul Allah

Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma


قَالَ اہۡبِطَا مِنۡہَا جَمِیۡعًۢا بَعۡضُکُمۡ لِبَعۡضٍ عَدُوٌّ ۚ فَاِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ مِّنِّیۡ ہُدًی ۬ۙ فَمَنِ اتَّبَعَ ہُدَایَ فَلَا یَضِلُّ وَ لَا یَشۡقٰی ﴿۱۲۴

Dia berfirman: “Pergilah kamu berdua semuanya dari sini, sebagian kamu musuh bagi sebagian yang lain. Maka apabila datang kepadamu petunjuk dari­-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku maka ia tidak akan sesat, dan tidak pula ia akan menderita kesusahan. (Thaa Haa [20]:124).

Dalam Bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai hubungan kedatangan petunjuk dari Allah Swt. kepada Adam a.s. dan istrinya atau jemaahnya, setelah Allah Swt. menerima permohonan ampunan dari Adam a.s. serta telah memilihnya dan memberi karunia kepadanya. Kedatangan petunjuk tersebut tidak lain adalah kesinambungan pengutusan para Rasul Allah dari kalangan Bani Adam (keturunan Adam), firman-Nya:

وَ لِکُلِّ اُمَّۃٍ اَجَلٌ ۚ فَاِذَا جَآءَ اَجَلُہُمۡ لَا یَسۡتَاۡخِرُوۡنَ سَاعَۃً وَّ لَا یَسۡتَقۡدِمُوۡنَ ﴿۳۵ یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ اِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ رُسُلٌ مِّنۡکُمۡ یَقُصُّوۡنَ عَلَیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ ۙ فَمَنِ اتَّقٰی وَ اَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿۳۶ وَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿۳۷

Dan bagi tiap-tiap umat ada batas waktu, maka apabila telah datang batas waktu mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula dapat memajukannya. Wahai Bani Adam, jika datang kepada kamu rasul-rasul dari antaramu yang menceritakan Ayat-ayat-Ku kepadamu, maka barangsiapa bertakwa dan memperbaiki diri, tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati. Dan orang-orang yang mendustakan Ayat-ayat Kami dan dengan takabur berpaling darinya, mereka itu penghuni Api, mereka kekal di dalamnya. (Al-‘Araaf [7]:35-37).

Orang-orang yang Buta Mata Ruhaninya

Selaras dengan firman Allah Swt. tersebut, selanjutnya Allah Swt. menjelaskan bahwa orang-orang yang mendustakan serta menentang para Rasul Allah yang dibangkitkan di kalangan mereka sendiri – yakni mereka yang menolak petunjuk yang datang dari Allah Swt. dan berlaku takabbur terhadapnya – maka mereka dikatakan sebagai orang-orang yang berpaling dari mengingat Allah Swt., firman-Nya:

وَ مَنۡ اَعۡرَضَ عَنۡ ذِکۡرِیۡ فَاِنَّ لَہٗ مَعِیۡشَۃً ضَنۡکًا وَّ نَحۡشُرُہٗ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ اَعۡمٰی ﴿۱۲۵

Dan barangsiapa ber­paling dari mengingat Aku maka sesungguhnya baginya ada kehidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (Thaa Haa [20]:125).

Pada hakikatnya orang-orang yang berpaling dari mengingat Allah Swt. tersebut adalah orang-orang yang buta mata ruhaninya di dunia ini, sehingga di alam akhirat pun mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta pula, firman-Nya lagi:

وَ مَنۡ کَانَ فِیۡ ہٰذِہٖۤ اَعۡمٰی فَہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ اَعۡمٰی وَ اَضَلُّ سَبِیۡلًا ﴿۷۳

Dan barangsiapa buta di [dunia] ini maka di akhirat pun ia akan buta juga dan bahkan lebih tersesat dari jalan. (Bani Israil [17]:72-73).

Ketika mereka melakukan protes kepada Allah Swt. mengapa mereka itu di alam akhirat dibangkitkan dalam keadaan buta, Allah Swt. menjawab karena mereka itu ketika hidup di dunia tidak berusaha melihat atau memahami keberadaan Tanda-tanda Allah yang tersebar di seluruh langit dan bumi (QS.3:191-195), bahkan yang terdapat dalam diri mereka sendiri (QS.41:54;QS.51:21-22), firman-Nya:

وَ مَنۡ اَعۡرَضَ عَنۡ ذِکۡرِیۡ فَاِنَّ لَہٗ مَعِیۡشَۃً ضَنۡکًا وَّ نَحۡشُرُہٗ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ اَعۡمٰی ﴿۱۲۵

Dan barangsiapa ber­paling dari mengingat Aku maka sesungguhnya baginya ada kehidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (Thaa Haa [20]:125).

Seseorang yang sama sekali tidak ingat kepada Allah di dunia serta menjalani cara hidup yang menghalangi dan menghambat perkembangan ruhaninya, dan dengan demikian membuat dirinya tidak layak menerima nur dari Allah Swt. akan dilahirkan dalam keadaan buta di waktu kebangkitannya kembali pada kehidupan di akhirat. Hal itu menjadi demikian karena ruhnya di dunia ini - yang akan berperan sebagai badan bagi ruh yang lebih maju ruhaninya di alam akhirat - telah menjadi buta, sebab ia telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa di dunia ini, firman-Nya:

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِیۡۤ اَعۡمٰی وَ قَدۡ کُنۡتُ بَصِیۡرًا ﴿۱۲۶ قَالَ کَذٰلِکَ اَتَتۡکَ اٰیٰتُنَا فَنَسِیۡتَہَا ۚ وَکَذٰلِکَ الۡیَوۡمَ تُنۡسٰی ﴿۱۲۷ وَ کَذٰلِکَ نَجۡزِیۡ مَنۡ اَسۡرَفَ وَ لَمۡ یُؤۡمِنۡۢ بِاٰیٰتِ رَبِّہٖ ؕ وَ لَعَذَابُ الۡاٰخِرَۃِ اَشَدُّ وَ اَبۡقٰی ﴿۱۲۸

Ia berkata: "Ya Tuhan­ku, mengapa Engkau mem­bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal sesungguhnya dahulu aku dapat melihat? Dia berfirman: "Demi­kianlah telah datang kepadamu Tanda-tanda Kami, tetapi engkau melupakannya dan demikian pula engkau dilupakan pada hari ini." Dan demikianlah Kami memberi balasan orang yang me­langgar dan ia tidak beriman kepada Tanda-tanda Tuhan-nya, dan niscaya azab akhirat itu lebih keras dan lebih kekal. (Thaa Haa [20]:126-128).

Sebagai jawaban terhadap keluhan atau protes mengapa ia dibangkit‑kan buta padahal dalam kehidupan sebelumnya ia memiliki penglihatan, Allah Swt. akan mengatakan bahwa ia telah menjadi buta ruhani dalam kehidupannya didunia sebab telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa, dan karena itu ruhnya — yang akan berperan sebagai tubuh untuk ruh lain yang ruhaninya jauh lebih berkembang di akhirat maka di hari kemudian (di Akhirat) ia dilahirkan (dibangkitkan) dalam keadaan buta.

Ayat ini dapat pula berarti bahwa karena orang kafir tidak mengembangkan dalam dirinya sifat-sifat Ilahi dan tetap asing dari sifat-sifat itu, maka pada hari kebangkitan — ketika sifat-sifat Ilahi itu akan dinampakkan dengan segala keagungan dan kemuliaan — ia sebagai seseorang yang terasing dari sifat­-sifat Ilahi itu tidak akan mampu mengenalnya dan dengan demikian akan berdiri seperti orang buta yang tidak mempunyai ingatan atau kenangan sedikit pun kepada sifat-sifat Ilahi itu.


Rasul Allah adalah Tanda-tanda Allah yang Paling Nyata

Mengenai keberadaan Tanda-tanda Allah yang tersebar di seluruh langit dan bumi, bahkan di dalam diri manusia sendiri Allah Swt. berfirman:

رَبَّنَاۤ اِنَّکَ مَنۡ تُدۡخِلِ النَّارَ فَقَدۡ اَخۡزَیۡتَہٗ ؕ وَ مَا لِلظّٰلِمِیۡنَ مِنۡ اَنۡصَارٍ ﴿۱۹۳ رَبَّنَاۤ اِنَّنَا سَمِعۡنَا مُنَادِیًا یُّنَادِیۡ لِلۡاِیۡمَانِ اَنۡ اٰمِنُوۡا بِرَبِّکُمۡ فَاٰمَنَّا ٭ۖ رَبَّنَا فَاغۡفِرۡ لَنَا ذُنُوۡبَنَا وَ کَفِّرۡ عَنَّا سَیِّاٰتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ الۡاَبۡرَارِ ﴿۱۹۴﴾ۚ رَبَّنَا وَ اٰتِنَا مَا وَعَدۡتَّنَا عَلٰی رُسُلِکَ وَ لَا تُخۡزِنَا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ ؕ اِنَّکَ لَا تُخۡلِفُ الۡمِیۡعَادَ ﴿۱۹۵

“Wahai Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam Api maka sungguh Engkau telah menghinakannya, dan sekali-kali tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolong pun. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mendengar seorang Penyeru menyeru [kami] kepada keimanan [seraya berkata]: "Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu" maka kami telah beriman. [Karena itu] wahai Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami, hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang berbuat kebajikan Wahai Tuhan kami, karena itu berikanlah kepada kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau, dan janganlah Engkau menghinakan kami pada Hari Kiamat, sesungguhnya Engkau tidak [pernah] menyalahi janji.” (Aali ‘Imran [3]:193-195).

Dzunub, yang umumnya menunjuk kepada kelemahan-kelemahan serta kesalahan-kesalahan dan kealpaan-kealpaan yang biasa melekat pada diri manusia, dapat melukiskan relung-relung gelap dalam hati, ke tempat itu Nur Ilahi tidak dapat sampai dengan sebaik-baiknya, sedangkan sayyi’at yang secara relatif merupakan kata yang bobotnya lebih keras, dapat berarti gumpalan-gumpalan awan debu yang menyembunyikan cahaya matahari ruhani dari pemandangan kita. Lihat pula ayat-ayat QS.2:82 dan QS.3:17.

Dzunub adalah jamak dari dzanb yang berarti: kealpaan, perbuatan salah, pelanggaran, sesuatu yang patut dicela jika dilakukan dengan sengaja. Perbedaannya dengan itsm (dosa) adalah bahwa dzanb itu boleh jadi disengaja atau dilakukan karena kealpaan (tidak disengaja), sedangkan itsm adalah yang khusus dilakukan dengan sengaja. Atau dzanb berarti kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang membawa akibat buruk atau menjadikan si pelakunya layak dituntut. Sesungguhnya dzanb berarti kelemahan-kelemahan atau kekurangan-kekurangan yang melekat pada fitrat manusia, seperti halnya dzanb (ekor, atau bagian tubuh yang seperti itu pada manusia) melekat pada tubuh, artinya kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan alami pada diri manusia (Lexicon Lane & Mufradat).

اِنَّا فَتَحۡنَا لَکَ فَتۡحًا مُّبِیۡنًا ۙ﴿۲ لِّیَغۡفِرَ لَکَ اللّٰہُ مَا تَقَدَّمَ مِنۡ ذَنۡۢبِکَ وَ مَا تَاَخَّرَ وَ یُتِمَّ نِعۡمَتَہٗ عَلَیۡکَ وَ یَہۡدِیَکَ صِرَاطًا مُّسۡتَقِیۡمًا ۙ﴿۳ وَّ یَنۡصُرَکَ اللّٰہُ نَصۡرًا عَزِیۡزًا ﴿۴

Sesungguhnya Kami telah memberi engkau satu kemenangan nyata, supaya Allah melindungi engkau dari dosa-dosa yang dibuat terhadap engkau di masa lalu dan di masa yang akan datang, dan Dia menyempurnakan nikmat-Nya atas engkau,dan memberi petunjuk kepada engkau pada jalan yang lurus. Dan Allah akan menolong engkau dengan pertolongan yang perkasa. (Al-Fath [48]:2-4).

Ayat 3 dengan sengaja disalahtafsirkan, atau karena kekurangan pengetahuan tentang muhawarah (idiom) dan frasa bahasa Arab, disalahartikan oleh beberapa penulis Kristen seakan mengandung arti, bahwa Nabi Besar Muhammad saw. mempunyai kesalahan-kesalahan akhlaki.

Telah merupakan salah satu dari Rukun Islam, sebagaimana diperintakan oleh Al-Quran, bahwa para nabi (Rasul Allah) dilahirkan ma’shum (bersih dari dosa) dan tetap ma’shum seumur hidup. Mereka tidak mengatakan ataupun melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Ilahi (QS.21:28). Oleh karena mereka diutus oleh Allah Swt. untuk membersihkan manusia dari dosa, maka tidaklah mungkin mereka sendiri berbuat dosa. Dan dari antara utusan-utusan Allah, Nabi Besar Muhammad saw. itu paling mulia dan paling suci.

Al-Quran mengandung banyak sekali ayat-ayat yang menyebut dengan kata-kata yang ceria mengenai kesucian dan kema’shuman hidup Nabi Besar Muhammad saw. (QS.2:130; QS.3:32 & 165; QS.6:163; QS.7:158; QS.8:25; QS.33:22; QS.48:11; QS.53:3-4; QS.68:5; dan QS.81:20-22).

Seseorang yang mempunyai martabat akhlak begitu seperti Nabi Besar Muhammad saw. yang telah mengangkat derajat seluruh bangsa — yang telah tenggelam ke dalam lembah kejahatan akhlak sampai ke dasar yang paling dalam — ke puncak kemulaian ruhani tertinggi, tidak mungkin mempunyai kelemahan-kelemahan akhlak demikian (QS.33:22), seperti dengan sia-sia telah dituduhkan oleh orang-orang yang biasa memperolok-olokkan beliau saw..

Sepatah kata sederhana dan polos, dzanb, telah dimanfaatkan untuk memfitnah beliau saw.. Kata itu berarti kelemahan-kelemahan yang melekat pada sifat insani dan pada kesalahan-kesalahan yang diprakirakan akan menimbulkan akibat-akibat merugikan.

Ayat 3 mengandung arti bahwa Allah akan melindungi Nabi Besar Muhammad saw. terhadap akibat-akibat merugikan yang akan datang kemudian sesudah kemenangan yang dijanjikan, seperti telah diisyaratkan oleh ayat sebelumnya. Oleh karena itu berbondong-bondong orang akan masuk Islam maka dengan sendirinya penggemblengan dan pemeliharaan akhlak dan keruhanian mereka tidak akan mencapai taraf yang diharapkan.

Itulah sebabnya tatkala dalam Al-Quran keberhasilan dan kemenangan dijanjikan kepada Nabi Besar Muhammad saw. pada waktu itu diperintahkan supaya memohon perlindungan Allah SWt. terhadap dzanb beliau saw., yakni kelemahan-kelemahan insani yang akan menghalangi jalan pelaksanaan tugas besar beliau saw..

Perbedaan Kata Junah, Jurm, Itsm, dengan Dzanb

Kenyataannya, bahwa dari keempat kata: junah, jurm, itsm, dan dzanb, yang memiliki arti tambahan yang sama, tiada sebuah pun dari ketiga kata yang disebut terlebih dulu (junah, jurm, itsm), yang dipergunakan dalam Al-Quran mengenai rasul-rasul Allah, menunjukkan, bahwa dzanb tidak mengandung arti buruk seperti dimiliki ketiga buah kata lainnya.

Kecuali itu, menurut muhawarah Al-Quran ungkapan dzanbaka, seandainya kata dzanb itu pun dianggap mengandung arti dosa atau kejahatan, kata itu berarti “dosa-dosa yang dituduhkan seolah engkau telah melakukannya; atau dosa-dosa yang diperbuat terhadap engkau.”

Menurut arti yang terakhir bagi kata dzanb itu, kata Arab laka dalam ayat ini akan berarti “demi kepentingan dikau.” Di tempat lain dalam Al-Quran (QS.5:30) ungkapan seperti itu, ialah itsmi (dosaku), berarti “dosa yang diperbuat terhadapku.” Jadi, ayat yang sedang dibahas ini akan berarti, sebagai akibat kemenangan besar Perjanjian Hudaibiyah itu, semua tuduhan dosa, kejahatan, dan kesalahan yang dilemparkan musuh-musuh Nabi Besar Muhammad saw. kepada beliau saw. -- yakni bahwa beliau seorang penipu, pendusta atau tukang mengada-ada kebohongan terhadap Allah dan manusia, dan sebagainya -- akan terbukti palsu semua sebab segala macam orang, yang mempunyai hubungan dengan para pengikut beliau saw. akan menjumpai kebenaran mengenai beliau saw..

Atau, artinya ialah bahwa “dosa-dosa yang diperbuat terhadap engkau oleh musuh-musuh engkau akan diampuni demi engkau”. Dan begitulah yang telah terjadi, ketika Mekkah jatuh dan orang-orang Arab menerima agama Islam, dosa mereka diampuni. Hubungan kalimatnya pun mendukung arti ini, sebab anugerah kemenangan yang nyata dan penggenapan nikmat Ilahi atas Nabi Besar Muhammad saw. diisyaratkan dalam ayat ini dan ayat sebelum ini agaknya tidak mempunyai perhubungan apa pun dengan pengampunan terhadap dosa-dosa, jika dzanb dianggap berarti dosa.

Berikut adalah firman-Nya lagi mengenai penggunaan kata liyaghfiru dan dzanb berkenaan Nabi Besar Muhammad saw.:

فَاصۡبِرۡ اِنَّ وَعۡدَ اللّٰہِ حَقٌّ وَّ اسۡتَغۡفِرۡ لِذَنۡۢبِکَ وَ سَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّکَ بِالۡعَشِیِّ وَ الۡاِبۡکَارِ ﴿۵۶

Maka bersabarlah sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mintalah ampunan [bagi mereka] atas dosa [yang diperbuat mereka] terhadap engkau dan bertasbihlah dengan pujian Tuhan engkau pada waktu petang dan pagi. (Al-Mu’min [40]:56).

Ghafar al-Mata’a berarti: ia meletakkan barang-barang itu dalam kantong, lalu menutupi dan melindungi barang-barang itu. Ghafran dan maghfirah kedua-duanya isim masdar (infinitive nouns) dari ghafara dan berarti perlindungan serta pemeliharaan. Mighfar berarti topi baja karena topi baja melindungi kepala. Dzanb berarti kekurangan atau kelemahan yang membawa akibat merugikan. Dzanba-hu berarti: ia mengikuti jejaknya, tidak beranjak dari jejaknya (Lexicon Lane & Mufradat).

Istighfar bukan saja diperlukan oleh orang-orang beriman awam, melainkan juga oleh wujud-wujud suci, bahkan oleh nabi-nabi Allah. Sementara golongan pertama membawa istighfar untuk mencari perlindungan terhadap dosa-dosa yang akan datang dan pula terhadap akibat-akibat buruk kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat di masa lalu, maka golongan kedua (rasul-rasul Allah) mohon perlindungan terhadap kealpaan dan kelemahan manusiawi yang dapat merintangi kemajuan misi mereka.

Nabi-nabi Allah pun makhluk manusia dan walau mereka terpelihara dari dosa, namun mereka pun diwarisi kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan insan maka mereka memerlukan istighfar guna memohon pertolongan dan perlindungan Allah. Kalimat dzanbaka berkenaan dengan Nabi Besar Muhammad saw. berarti: “dosa-dosa yang diperbuat terhadap engkau; dosa-dosa yang dituduhkan musuh-musuh engkau seakan-akan engkaulah melakukan dosa-dosa itu; kealpaan dan kelemahan engkau sebagai manusia.”

Dengan penjelasan mengenai penggunaan kata istighfar dan kata dzanb sehubungan dengan para Rasul Allah -- termasuk Nabi Adam a.s. dan Nabi Besar Muhammad saw. -- sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbuatan salah atau dosa yang dilakukan secara sengaja melainkan terjadi karena kealfaan atau tidak sengaja sebagai akibat dari kelemahan insani umumnya umat manusia, yang untuk tujuan itulah maka istighfar bagi manusia sangat pentingnya.

Akibat Buruk Mendustakan Rasul Allah

Kembali kepada masalah hubungan kebutaan ruhani dengan pendustaan terhadap para Rasul Allah, masalahnya menjadi jelas bahwa kerana pengutusan para Rasul Allah kepada umat manusia pada hakikatnya merupakan "penjelmaan" Tanda-tanda Allah Swt. yang paling sempurna -- karena mereka itu merupakan Khalifah-khalifah Allah di bumi", yang salah satunya adalah Nabi Adam a.s. -- maka kegagalan mereka mengenal kebenaran pendakwaan para Rasul Allah merupakan bukti bahwa pada hakikatnya mereka itu adalah orang-orang yang mata ruhaninya buta, padahal berbagai macam Tanda-tanda Allah yang lainnya, termasuk terjadinya berbagai azab dahsyat, telah mendukung kebenaran pendakwaan para Rasul Allah tersebut (QS.6;112-114), karena itu di alam akhirat pun mereka akan dibangkitkan dalam keadaan buta pula, firman-Nya:

وَ مَنۡ کَانَ فِیۡ ہٰذِہٖۤ اَعۡمٰی فَہُوَ فِی الۡاٰخِرَۃِ اَعۡمٰی وَ اَضَلُّ سَبِیۡلًا ﴿۷۳

Dan barangsiapa buta di [dunia} ini maka di akhirat pun ia akan buta juga dan bahkan lebih tersesat dari jalan. (Bani Israil [17]:72-73).

Oleh karena itu ketika mereka melakukan protes kepada Allah Swt. mengapa mereka itu di alam akhirat dibangkitkan dalam keadaan buta, Allah Swt. menjawab karena mereka itu ketika hidup di dunia tidak berusaha melihat atau memahami keberadaan Tanda-tanda Allah yang tersebar di seluruh langit dan bumi (QS.3:191-195), bahkan yang terdapat dalam diri mereka sendiri (QS.4154; QS.51:21-22), -- terutama para Rasul Allah -- firman-Nya:

وَ مَنۡ اَعۡرَضَ عَنۡ ذِکۡرِیۡ فَاِنَّ لَہٗ مَعِیۡشَۃً ضَنۡکًا وَّ نَحۡشُرُہٗ یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ اَعۡمٰی ﴿۱۲۵

Dan barangsiapa ber­paling dari mengingat Aku maka sesungguhnya baginya ada kehidupan yang sempit, dan Kami akan membangkitkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (Thaa Haa [20]:125).

Seseorang yang sama sekali tidak ingat kepada Allah di dunia -- yang diperagakan dalam bentuk mendustakan dan menentang para Rasul Allah, yang merupakan wujud-wujud suci yang membawa nur Allah -- serta ia menjalani cara hidup yang menghalangi dan menghambat perkembangan ruhaninya, dan dengan demikian membuat dirinya tidak layak menerima nur dari Allah Swt. akan dilahirkan dalam keadaan buta di waktu kebangkitannya kembali pada kehidupan di akhirat. Hal itu menjadi demikian karena ruhnya di dunia ini - yang akan berperan sebagai badan bagi ruh yang lebih maju ruhaninya di alam akhirat - telah menjadi buta, sebab ia telah menjalani kehidupan yang bergelimang dosa di dunia ini, firman-Nya:

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرۡتَنِیۡۤ اَعۡمٰی وَ قَدۡ کُنۡتُ بَصِیۡرًا ﴿۱۲۶ قَالَ کَذٰلِکَ اَتَتۡکَ اٰیٰتُنَا فَنَسِیۡتَہَا ۚ وَکَذٰلِکَ الۡیَوۡمَ تُنۡسٰی ﴿۱۲۷ وَ کَذٰلِکَ نَجۡزِیۡ مَنۡ اَسۡرَفَ وَ لَمۡ یُؤۡمِنۡۢ بِاٰیٰتِ رَبِّہٖ ؕ وَ لَعَذَابُ الۡاٰخِرَۃِ اَشَدُّ وَ اَبۡقٰی ﴿۱۲۸

Ia berkata: "Ya Tuhan­ku, mengapa Engkau mem­bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal sesungguhnya dahulu aku dapat melihat? Dia berfirman: "Demi­kianlah telah datang kepadamu Tanda-tanda Kami, tetapi engkau melupakannya dan demikian pula engkau dilupakan pada hari ini." Dan demikianlah Kami memberi balasan orang yang me­langgar dan ia tidak beriman kepada Tanda-tanda Tuhan-nya, dan niscaya azab akhirat itu lebih keras dan lebih kekal. (Thaa Haa [20]:126-128).

(Bersambung)

Rujukan:

The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid


Tidak ada komentar:

Posting Komentar