Jumat, 09 September 2011

Missi Utama Para Rasul Allah Memurnikan Tauhid Ilahi


بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


HUBUNGAN KISAH MONUMENTAL

"ADAM, MALAIKAT, IBLIS"

DENGAN

SURAH AL-IKHLASH, AL-FALAQ, DAN AL-NAAS


Bagian II


Tentang

Misi Utama Para Rasul Allah Memurnikan Tauhid Ilahi


Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma



وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اِنِّیۡ جَاعِلٌ فِی الۡاَرۡضِ خَلِیۡفَۃً ؕ قَالُوۡۤا اَتَجۡعَلُ فِیۡہَا مَنۡ یُّفۡسِدُ فِیۡہَا وَ یَسۡفِکُ الدِّمَآءَ ۚ وَ نَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِکَ وَ نُقَدِّسُ لَکَ ؕ قَالَ اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ ﴿۳۱

Dan ingatlah ketika Tuhan engkau berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”, mereka berkata: “Apakah Engkau akan menjadikan di dalamnya yakni di bumi orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan akan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan pujian Engkau dan kami senantiasa mensucikan Engkau?” Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah [2]31).


Allah Swt. di dalam Al-Quran telah berfirman bahwa dari sekian banyak cara Allah Swt. mengemukakan haq (kebenaran) dan petunjuk dalam Al-Quran adalah melalui perumpamaan-perumpamaan (misal-misal), firman-Nya:

وَ لَقَدۡ صَرَّفۡنَا فِیۡ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنِ لِیَذَّکَّرُوۡا ؕ وَ مَا یَزِیۡدُہُمۡ اِلَّا نُفُوۡرًا ﴿۴۲

Dan sungguh Kami benar-benar telah menjelaskan dengan berbagai cara di dalam Al-Quran ini supaya mereka mengambil pelajaran, tetapi tidaklah Al-Quran itu menambah bagi mereka kecuali kebencian (Bani Israil [17]:42).

Suatu Kitab suci yang harus memecahkan segala masalah dan persoalan yang penting-penting, adalah wajar dan menjadi keharusan, supaya Kitab itu berulang kali mengupas kembali hal-hal yang bertalian erat dengan suatu masalah pokok. Bila pengulangan itu dimaksudkan untuk mengupas suatu masalah dari sudut yang baru atau untuk membantah suatu tuduhan baru, maka tiada orang yang waras otaknya lagi cerdas pikirannya dapat mengemukakan keberatan terhadap hal demikian. Firman-Nya lagi:

وَ لَقَدۡ صَرَّفۡنَا لِلنَّاسِ فِیۡ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنِ مِنۡ کُلِّ مَثَلٍ ۫ فَاَبٰۤی اَکۡثَرُ النَّاسِ اِلَّا کُفُوۡرًا ﴿۹۰

Dan sungguh Kami benar-benar telah menjelaskan bagi manusia berbagai cara di dalam Al-Quran ini segala macam perumpamaan, tetapi kebanyakan manusia menolak segala sesuatu tentang itu melainkan mengingkarinya (Bani Israil [17]:90). Lihat pula QS.18:55.

Karena kemampuan-kemampuan manusia terbatas, paling-paling orang dapat menghadapi masalah-masalah yang jumlahnya terbatas saja. Tetapi Al-Quran telah membahas dengan selengkap-lengkapnya semua masalah dan persoalan yang bertalian dengan kemajuan akhlak dan ruhani manusia.

Ayat ini dapat berarti pula: (a) Dari semua makhluk Allah, manusia telah dianugerahi akal dan kemampuan-kemampuan otak, tetapi amat disayangkan ia mempergunakannya untuk menolak kebenaran dan juga untuk tujuan-tujuan buruk lainnya; (b) atau dapat pula berarti, bahwa manusia itu adalah kurban prasangka-prasangka dan keragu-raguan mendalam yang jarang memperoleh kepuasan; dan oleh karena sifat ragu-ragu menjadi darah­-dagingnya maka ia berusaha menemukan celah-celah untuk mengelak dari dalil-dalil dan keterangan-keterangan yang sangat meyakinkan sekalipun.

Dengan demikian “dialog” antara Allah Swt. dengan para malaikat dalam firman-Nya di awal uraian Bab ini tidak perlu diartikan bahwa benar-benar ada semacam adegan “perdebatan” antara Allah Swt. dengan para malaikat, melainkan hanya merupakan perumpamaan belaka mengenai salah satu Sunnatullah atau ketetapan Allah Swt. yang senantiasa terjadi, ketika diperlukan keberadaan seorang Khalifah Allah untuk menciptakan tatanan “bumi baru” dan “langit baru” (QS.14:49) karena kehidupan akhlak dan ruhani di kalangan umat manusia manusia – termasuk umat beragama – telah timbul kerusakan yang sangat parah (QS.30:42-43), firman-Nya:

وَ اِذۡ قَالَ رَبُّکَ لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اِنِّیۡ جَاعِلٌ فِی الۡاَرۡضِ خَلِیۡفَۃً ؕ قَالُوۡۤا اَتَجۡعَلُ فِیۡہَا مَنۡ یُّفۡسِدُ فِیۡہَا وَ یَسۡفِکُ الدِّمَآءَ ۚ وَ نَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِکَ وَ نُقَدِّسُ لَکَ ؕ قَالَ اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ ﴿۳۱

Dan ingatlah ketika Tuhan engkau berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”, mereka berkata: “Apakah Engkau akan menjadikan di dalamnya yakni di bumi orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan akan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan pujian Engkau dan kami senantiasa mensucikan Engkau?” Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah [2]31).

Qaala adalah perkataan bahasa Arab yang lazim dan berarti "ia berkata". Tetapi kadang-kadang dipakai dalam arti kiasan bila yang dimaksudkannya bukan pernyataan kata kerja, melainkan keadaan yang sesuai dengan arti kata kerja itu. Ungkapan, Imtala’a al-haudhu wa qaala qathni (Kolam itu menjadi penuh dan ia berkata: “Aku sudah penuh”) tidak berarti bahwa kolam itu benar-benar berkata demikian, hanya keadaannya mengandung arti bahwa kolam itu sudah penuh.

Percakapan antara Allah Swt. dan para malaikat tidak perlu diartikan secara harfiah sebagai sungguh-sungguh telah terjadi. Seperti dinyatakan di atas, kata qaala kadang-kadang dipakai dalam arti kiasan, untuk mengemukakan hal yang sebenarnya bukan suatu ungkapan lisan, melainkan hanya keadaan yang sama dengan ungkapan lisan. Maka ayat ini hanya berarti bahwa para malaikat itu dengan keadaan mereka menyiratkan jawaban yang di sini dikaitkan kepada kata-kata yang diucapkan mereka.

Hakikat “Keberatan” Para Malaikat & “Adam” Timur Tengah

Malaa’ikah (malaikat-malaikat) yang adalah jamak dari malak diserap dari malaka, yang berarti: ia mengendalikan, mengawasi; atau dari alaka, artinya ia mengirimkan. Para malaikat disebut demikian sebab mereka mengendalikan kekuatan-kekuatan alam atau mereka membawa wahyu Ilahi kepada utusan-utusan (rasul-rasul) Allah dan pembaharu-pembaharu samawi.

Malaikat-malaikat tersebut pada hakikatnya semacam "instrument" yang melaksanakan semua kehendak Allah Swt. sepenuhnya. Dan karena macam tugas yang dipikulkan kepada para malaikat tersebut sangat banyak sekali -- mulia yang paling ringan (sederhana) sampai dengan yang terberat -- oleh karena itu kemampuan para malaikat pun berbeda-beda, yang di dalam Al-Quran digambarkan dengan perbedaan jumlah sayap (ajnihah) yang dimiliki oleh para malaikat tersebut, firman-Nya:

اَلۡحَمۡدُ لِلّٰہِ فَاطِرِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ جَاعِلِ الۡمَلٰٓئِکَۃِ رُسُلًا اُولِیۡۤ اَجۡنِحَۃٍ مَّثۡنٰی وَ ثُلٰثَ وَ رُبٰعَ ؕ یَزِیۡدُ فِی الۡخَلۡقِ مَا یَشَآءُ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلٰی کُلِّ شَیۡءٍ قَدِیۡرٌ ﴿۲

Segala puji kepunyaan Allah, yang menciptakan seluruh langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat-malaikat sebagai utusan-utusan yang bersayap dua, tiga, dan empat. Dia menambahkan dalam ciptaan apa yang Dia kehendaki, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (Al-Faathir [35]:3).

Kepada malaikat-malaikat dipercayakan menjaga, mengatur, dan mengawasi segala urusan yang berlaku di alam jasmani (QS.79:6). Inilah tugas dan tanggungjawab yang dibebankan kepada mereka. Tugas mereka yang lain dan yang lebih berat yaitu melaksanakan perintah dan kehendak Allah Swt. kepada rasul-rasul-Nya. Malaikat-malaikat pembawa wahyu menampakkan serentak dua, tiga, atau empat sifat Ilahi, dan ada pula malaikat lain, yang bahkan menjelmakan lebih banyak lagi dari sifat-sifat itu.

Karena ajnihah merupakan lambang kekuatan dan kemampuan (Lexicon Lane), ayat ini mengandung arti bahwa malaikat-malaikat itu memiliki kekuatan dan sifat yang berbeda-beda derajatnya sesuai dengan kepentingan pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka masing-masing. Sebagian malaikat dianugerahi kekuatan-kekuatan dan sifat-sifat yang lebih besar daripada yang lain. Malaikat Jibril adalah penghulu semua malaikat karena itu pekerjaan mahapenting yakni menyampaikan wahyu Ilahi kepada para rasul Allah, diserahkan kepadanya serta dilaksanakan di bawah asuhan dan pengawasannya (QS.2:88-99; QS.26:193-198).

Para malaikat tidak mengemukakan keberatan terhadap rencana Ilahi atau mengaku diri mereka lebih unggul dari Adam a.s.. Pertanyaan mereka didorong oleh pengumuman Allah Swt. mengenai rencana-Nya untuk mengangkat seorang khalifah. Wujud khalifah diperlukan bila tertib harus ditegakkan dan hukum harus dilaksanakan. Keberatan semu para malaikat menyiratkan bahwa sebagai reaksi dari keberadaan khalifah Allah tersebut akan ada orang-orang di bumi yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah.

Dengan kata lain, Allah Swt. dengan perantaraan "keberatan" semu para malaikat memberi pengertian kepada manusia bahwa sudah merupakan Sunnatullah bahwa kapan pun Allah Swt. membangkitkan seorang "khalifah-Nya" (rasul Allah) maka pasti akan muncul orang atau pihak-pihak yang merasa dirugikan kepentingannya oleh keberadaan "khalifah Allah" tersebut lalu melakukan pendustaan dan penentangan terhadap missi suci "Khalifah" tersebut yang akibatnya timbul kerusakan dan tertumpahnya darah dari pihak "Khalifah Allah" (rasul Allah) tersebut.

Karena manusia dianugerahi kekuatan-kekuatan besar untuk berbuat baik dan jahat, para malaikat menyebut segi gelap tabiat manusia, tetapi Allah Swt. mengetahui bahwa manusia dapat mencapai tingkat akhlak yang sangat tinggi, sehingga ia dapat menjadi cermin (bayangan) sifat-sifat Ilahi. Kalimat: "Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui" menyebutkan segi terang tabiat manusia.

Pertanyaan para malaikat bukan sebagai celaan terhadap perbuatan Allah Swt. melainkan sekedar mencari ilmu yang lebih tinggi mengenai sifat dan hikmah penciptaan khalifah tersebut. Sementara tasbih dipakai bertalian dengan sifat-sifat maka taqdis dipergunakan mengenai tindakan-tindakan-Nya, yakni para malaikat melakukan tasbih dan taqdis sesuai dengan tugas yang telah diamanatkan Allah Swt. terhadap mereka -- tanpa bisa menguranginya atau pun melebihkannya (QS.66:7) -- sedangkan manusia -- terutama para rasul Allah -- diberi kemampuan untuk melakukan tasbih, tahmid, taqdis, takbir dan tahlil -- yakni menyanjung serta memperagakan sifat-sifat Ilahi lebih sempurna lagi, khususnya Nabi Besar Muhammad saw..(QS.3:32; QS.33:22).

Nabi Adam a.s. bukan Manusia Pertama

Adam a.s. yang hidup kira-kira 6000 tahun yang lalu, umumnya dipercayai sebagai orang yang pertama sekali diciptakan Allāh Swt. di muka bumi. Tetapi pandangan tersebut tidak didukung oleh Al-Quran. Dunia telah melalui berbagai daur (peredaran) kejadian dan peradaban, dan Adam a.s. — leluhur umat manusia zaman ini — hanya merupakan mata-rantai pertama dalam daur peradaban sekarang dan bukan orang pertama makhluk ciptaan Allah Swt..

Bangsa-bangsa telah timbul tenggelam, peradaban telah muncul dan lenyap. Adam-adam lain telah lewat, sebelum Adam a.s. kita, bangsa-bangsa lain telah hidup dan binasa, dan daur-daur peradaban lainnya telah datang dan pergi. Muhyiddin Ibn 'Arabi, seorang sufi besar mengatakan bahwa sekali peristiwa beliau melihat diri beliau dalam mimpi sedang tawaf di Ka’bah. Dalam mimpi itu seorang yang menyatakan dirinya sebagai seorang dari nenek-moyangnya nampak di hadapan beliau. “Berapa lamanya sudah lewat sejak Anda meninggal?” tanya Ibn ‘Arabi. Jawab orang itu: “Lebih dari 40.000 tahun.” Ibnu 'Arabi berkata lagi: ” Tetapi masa itu jauh lebih lama dari masa yang memisahkan kita dari Adam?” Orang itu menjawab: “Mengenai Adam yang mana engkau bicara? Mengenai Adam yang terdekat kepada engkau ataukah mengenai Adam lain?” Ibnu 'Arabi berkata: “Maka aku ingat suatu sabda Nabi Besar Muhammad saw. yang maksudnya bahwa AllāhSwt. telah menjadikan tidak kurang dari 100.000 Adam, dan saya berkata dalam hati: Mungkin orang yang mengaku dirinya datukku ini seorang dari Adam-Adam terdahulu” (Futuhaa-al-Makiyyah, II, halaman 607).

Tidak dikatakan bahwa keturunan yang hidup sebelum Adam a.s. seluruhnya telah lenyap sebelum beliau dilahirkan. Mungkin sekali ketika itu masih ada sedikit sisa yang tertinggal dari keturunan purba itu dan Adam a.s. salah seorang dari antara mereka. Kemudian Allah Swt. memilih beliau menjadi leluhur keturunan (generasi) baru dan pelopor serta pembuka jalan peradaban baru, seakan-akan dijadikan dari yang telah mati, beliau melambangkan terbitnya fajar zaman kehidupan baru. Karena khalifah berarti penerus maka jelas sekali manusia telah ada hidup di bumi ini sebelum Adam a.s. yang menggantikan mereka (QS.6:166), dan kita tidak dapat mengatakan apakah penduduk asli Amerika, Australia, dan sebagainya itu, keturunan Adam a.s. terakhir ini -- yang lahir di kawasan Timur Tengah -- atau dari Adam lain yang telah lewat sebelum beliau.

Banyak telah dibicarakan mengenai tempat kelahiran Adam a.s. atau di mana beliau diangkat sebagai mushlih (pembaharu). Pandangan umum ialah beliau ditempatkan di suatu tempat di surga, namun kemudian diusir dari situ lalu ditempatkan di suatu tempat di dunia. Tetapi kata-kata “di bumi” menyangkal pandangan itu dan secara pasti mengemukakan bahwa Adam a.s. hidup di bumi yang karena suburnya disebut “jannah” (kebun), dan di bumi pula beliau diangkat sebagai Pembaharu. Sangat besar kemungkinan bahwa beliau untuk pertama kali tinggal di Irak, tetapi kemudian diperintahkan berhijrah ke suatu tempat yang disebut "jannah" yang artinya "kebun" tetapi juga diartikan "surga".

Kesinambungan Pengutusan para Rasul Allah dari Zaman ke Zaman

Pada hakikatnya kehendak Allah Swt. menjadikan seorang “khalifah-Nya” di bumi tersebut sesuai dengan firman-Nya mengenai kesinambungan kedatangan para Rasul Allah dari kalangan Bani Adam, firman-Nya:

وَ لِکُلِّ اُمَّۃٍ اَجَلٌ ۚ فَاِذَا جَآءَ اَجَلُہُمۡ لَا یَسۡتَاۡخِرُوۡنَ سَاعَۃً وَّ لَا یَسۡتَقۡدِمُوۡنَ ﴿۳۵ یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ اِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ رُسُلٌ مِّنۡکُمۡ یَقُصُّوۡنَ عَلَیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ ۙ فَمَنِ اتَّقٰی وَ اَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿۳۶ وَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿۳۷

Dan bagi tiap-tiap umat ada batas waktu, maka apabila telah datang batas waktu mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula dapat memajukannya. Wahai Bani Adam, jika datang kepada kamu rasul-rasul dari antaramu yang menceritakan Ayat-ayat-Ku kepadamu, maka barangsiapa bertakwa dan memperbaiki diri, tidak akan ada ketakutan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati. Dan aorang-orang yang mendustakan Ayat-ayat Kami dan dengan takabur berpaling darinya, mereka itu penghuni Api, mereka kekal di dalamnya. (Al-‘Araf [7]:35-37).

Hal ini patut mendapat perhatian istimewa. Seperti pada beberapa ayat sebelumnya (yakni QS.7:27, 28 & 32), seruan dengan kata-kata Hai anak-cucu Adam, ditujukan kepada umat di zaman Nabi Besar Muhammad saw. dan kepada generasi-generasi yang akan lahir, bukan kepada umat yang hidup di masa jauh silam dan yang datang tak lama sesudah masa Nabi Adam a.s..

Kata-kata “mereka itu penghuni Apiberarti bahwa mereka yang menolak Utusan-utusan Allah akan melihat dengan mata kepala sendiri penyempurnaan kabar-kabar gaib yang meramalkan kekalahan dan kegagalan mereka. Mereka akan merasakan hukuman yang dijanjikan kepada mereka karena menentang utusan-utusan Allah.

Ada pun missi utama pengutusan para Rasul Allah tersebut adalah untuk memurnikan kembali Tauhid Ilahi (QS.10:48; QS.13:8; QS.16:37; QS.35:27; QS.982-6) yang telah dikotori oleh berbagai bentuk syirik (kemusyrikan), yakni keadaannya bagaikan Baitullah (Ka’bah) yang telah dipenuhi dengan 360 buah berhala sembahan bangsa Arab Jahiliyah saat menjelang pengutusan Nabi Besar Muhammad saw., padahal Baitullah (Ka’bah) tersebut merupakan lambang Tauhid Ilahi yang dibangun oleh Nabi Adam a.s., dan didirikan kembali oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Isma’il a.s. ketika “Rumah Kuno” tersebut telah tinggal fondasinya saja (QS.2:128-130).

Surah Al-Ikhlash

Pemurnian kembali Tauhid Ilahi yang dilakukan oleh para Rasul Allah dari zaman ke zaman – khususnya yang dilakukan oleh Nabi Besar Muhammad saw. -- itulah yang digambarkan dalam Surah Al-Ikhlash, firman-Nya:

قُلۡ ہُوَ اللّٰہُ اَحَدٌ ۚ﴿۲ اَللّٰہُ الصَّمَدُ ۚ﴿۲ لَمۡ یَلِدۡ ۬ۙ وَ لَمۡ یُوۡلَدۡ ۙ﴿۴ وَ لَمۡ یَکُنۡ لَّہٗ کُفُوًا اَحَدٌ ٪﴿۵

Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah, Yang segala sesuatu bergantung pada-Nya Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.” (Al-Ikhlash [112]:2-5).

Firman-Nya lagi:

فَاَقِمۡ وَجۡہَکَ لِلدِّیۡنِ حَنِیۡفًا ؕ فِطۡرَتَ اللّٰہِ الَّتِیۡ فَطَرَ النَّاسَ عَلَیۡہَا ؕ لَا تَبۡدِیۡلَ لِخَلۡقِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ الدِّیۡنُ الۡقَیِّمُ ٭ۙ وَ لٰکِنَّ اَکۡثَرَ النَّاسِ لَا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿٭ۙ۳۱ مُنِیۡبِیۡنَ اِلَیۡہِ وَ اتَّقُوۡہُ وَ اَقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ وَ لَا تَکُوۡنُوۡا مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿ۙ۳۲ مِنَ الَّذِیۡنَ فَرَّقُوۡا دِیۡنَہُمۡ وَ کَانُوۡا شِیَعًا ؕ کُلُّ حِزۡبٍۭ بِمَا لَدَیۡہِمۡ فَرِحُوۡنَ ﴿۳۳

Maka hadapkanlah wajah kamu kepada agama yang lurus, yaitu fitrat Allah, yang atas dasar itu Dia menciptakan manusia, tidak ada perubahan dalam penciptaan Allāh, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Kembalilah kamu kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka menjadi golongan-golongan tiap-tiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka. (Al-Ruum [30]:31-33).

Tuhan adalah Esa dan kemanusiaan itu satu, inilah fithrat Allāh dan diinul-fithrah — satu agama yang berakar dalam fitrat manusia — dan terhadapnya manusia menyesuaikan diri dan berlaku secara naluri. Di dalam agama (fitrah) inilah seorang bayi dilahirkan akan tetapi lingkungannya, cita-cita dan kepercayaan-kepercayaan orang tuanya, serta didikan dan ajaran yang diperolehnya dari mereka itu, kemudian membuat dia Yahudi, Majusi atau Kristen (Bukhari).

Hanya semata-mata percaya kepada Kekuasaan mutlak dan Keesaan Tuhan, yang sesungguhnya hal itu merupakan asas pokok agama yang hakiki, adalah tidak cukup. Suatu agama yang benar harus memiliki peraturan-peraturan dan perintah-perintah tertentu. Dari semua peraturan dan perintah itu shalatlah yang harus mendapat prioritas utama.

Penyimpangan dari agama sejati menjuruskan umat di zaman lampau kepada perpecahan dalam bentuk aliran-aliran yang saling memerangi dan menyebabkan sengketa di antara mereka.

Setelah dalam beberapa ayat sebelumnya diisyaratkan mengenai Keesaan Allah Swt. sebagai asas pokok semua agama, ayat ini dan tiga ayat berikutnya membahas syirik, yakni penyekutuan tuhan-tuhan palsu terhadap Allah Swt.. Orang-orang musyrik bagaimana juga tidak mempunyai dalil apa pun untuk mendukung kepercayaan mereka yang palsu. Fitrat, akal, dan pikiran sehat manusia, semuanya menolak keras kemusyrikan.

Bayyinah dan Kesaksian Ruh Manusia

Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai misi kedatangan “bayyinah” yakni Rasul Allah:

لَمۡ یَکُنِ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ اَہۡلِ الۡکِتٰبِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ مُنۡفَکِّیۡنَ حَتّٰی تَاۡتِیَہُمُ الۡبَیِّنَۃُ ۙ﴿۲ رَسُوۡلٌ مِّنَ اللّٰہِ یَتۡلُوۡا صُحُفًا مُّطَہَّرَۃً ۙ﴿۳ فِیۡہَا کُتُبٌ قَیِّمَۃٌ ؕ﴿۴ وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ اِلَّا مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡہُمُ الۡبَیِّنَۃُ ؕ﴿۵ وَ مَاۤ اُمِرُوۡۤا اِلَّا لِیَعۡبُدُوا اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ الدِّیۡنَ ۬ۙ حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ وَ یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ ؕ﴿۶

Orang-orang kafir dari Ahli-kitab dan orang-orang musyrik- tidak akan berhenti dari kekafiran hingga datang kepada mereka bukti yang nyata, [yaitu] seorang rasul dari Allah yang membacakan lembaran-lembaran suci, yang di dalamnya ada perintah-perintah abadi. Dan orang-orang yang diberi Kitab tidak berpecah-belah kecuali setelah datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan tulus ikhlas dalam ketaatan kepada-Nya dan dengan lurus, serta mendirikan shalat dan membayar zakat, dan itulah agama yang lurus. (Bayyinah [98]:2-6).

Diin berarti: ketaatan, penguasaan; perintah; rencana; ketakwaan; kebiasaan atau adat; perilaku atau tindak-tanduk (Lexicon Lane).

Bahkan Tauhid Ilahi yang hakiki atau Tauhid Ilahi yang murni tersebut telah Allah Swt. tanamkan di dalam setiap ruh (jiwa) manusia, firman-Nya:

وَ اِذۡ اَخَذَ رَبُّکَ مِنۡۢ بَنِیۡۤ اٰدَمَ مِنۡ ظُہُوۡرِہِمۡ ذُرِّیَّتَہُمۡ وَ اَشۡہَدَہُمۡ عَلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ ۚ اَلَسۡتُ بِرَبِّکُمۡ ؕ قَالُوۡا بَلٰی ۚۛ شَہِدۡنَا ۚۛ اَنۡ تَقُوۡلُوۡا یَوۡمَ الۡقِیٰمَۃِ اِنَّا کُنَّا عَنۡ ہٰذَا غٰفِلِیۡنَ ﴿۱۷۳﴾ۙ اَوۡ تَقُوۡلُوۡۤا اِنَّمَاۤ اَشۡرَکَ اٰبَآؤُنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا ذُرِّیَّۃً مِّنۡۢ بَعۡدِہِمۡ ۚ اَفَتُہۡلِکُنَا بِمَا فَعَلَ الۡمُبۡطِلُوۡنَ ﴿۱۷۴ وَ کَذٰلِکَ نُفَصِّلُ الۡاٰیٰتِ وَ لَعَلَّہُمۡ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿۱۷۵

Dan ketika Rabb (Tuhan) engkau mengambil [kesaksian] dari bani Adam [yakni] dari sulbi keturunan mereka serta menjadikan mereka saksi atas dirinya sendiri [sambil berfirman]: Bukankah Aku Rabb (Tuhan) kamu?” Mereka berkata: “Ya benar, kami menjadi saksi.” Supaya kamu tidak berkata pada Hari Kiamat: “Sesungguhnya kami benar-benar lengah dari hal ini.” Atau kamu mengatakan: ”Sesungguhnya bapak-bapak kami dahulu yang berbuat syirik, sedangkan kami [hanyalah] keturunan sesudah mereka. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang yang berbuat batil itu?” Dan demikianlah Kami menjelaskan Tanda-tanda itu dan supaya mereka kembali [kepada yang haq]. (Al-‘Araaf [7]:173-175).

Ayat itu menunjukkan kepada kesaksian yang tertanam dalam fitrat manusia sendiri mengenai adanya Dzat Mahatinggi yang telah menciptakan seluruh alam serta mengendalikannya (QS.30:31). Atau ayat itu dapat merujuk kepada kemunculan para nabi Allah yang menunjuki jalan menuju Allah Swt., dan ungkapan “dari sulbi bani Adam” maksudnya umat dari setiap zaman yang kepada mereka rasul Allah diutus. Pada hakikatnya keadaan tiap-tiap rasul baru itulah yang mendorong timbulnya pertanyaan Ilahi: “Bukankah Aku Tuhan kamu?

Semua Rasul Allah Mengajarkan Tauhid Ilahi


Pertanyaan itu berarti bahwa jika Allah Swt. telah menyediakan perbekalan untuk keperluan jasmani manusia dan demikian pula untuk kemajuan akhlak dan keruhanian betapa ia dapat mengingkari Ketuhanan-Nya. Sesungguhnya karena menolak nabi mereka maka manusia menjadi saksi terhadap diri mereka sendiri, sebab jika demikian mereka tidak dapat berlindung di balik dalih bahwa mereka tidak mengetahui Allah atau syariat-Nya atau Hari Pembalasan. Kemunculan seorang nabi juga menghambat kaumnya dari mengemukakan dalih seperti dalam ayat 173 di atas, sebab pada saat itulah haq (kebenaran) dibuat nyata berbeda dari kepalsuan dan kemusyrikan dengan terang benderang dicela.

Berikut adalah firman Allah Swt. mengenai beberapa Rasul Allah yang diutus setelah Nabi Adam a.s.. Mengenai Nabi Nuh a.s., Allah Swt. berfirman:

لَقَدۡ اَرۡسَلۡنَا نُوۡحًا اِلٰی قَوۡمِہٖ فَقَالَ یٰقَوۡمِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ مَا لَکُمۡ مِّنۡ اِلٰہٍ غَیۡرُہٗ ؕ اِنِّیۡۤ اَخَافُ عَلَیۡکُمۡ عَذَابَ یَوۡمٍ عَظِیۡمٍ ﴿۶۰ قَالَ الۡمَلَاُ مِنۡ قَوۡمِہٖۤ اِنَّا لَنَرٰىکَ فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿۶۱ قَالَ یٰقَوۡمِ لَیۡسَ بِیۡ ضَلٰلَۃٌ وَّ لٰکِنِّیۡ رَسُوۡلٌ مِّنۡ رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿۶۲ اُبَلِّغُکُمۡ رِسٰلٰتِ رَبِّیۡ وَ اَنۡصَحُ لَکُمۡ وَ اَعۡلَمُ مِنَ اللّٰہِ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ ﴿۶۳ اَوَ عَجِبۡتُمۡ اَنۡ جَآءَکُمۡ ذِکۡرٌ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ عَلٰی رَجُلٍ مِّنۡکُمۡ لِیُنۡذِرَکُمۡ وَ لِتَتَّقُوۡا وَ لَعَلَّکُمۡ تُرۡحَمُوۡنَ ﴿۶۴ فَکَذَّبُوۡہُ فَاَنۡجَیۡنٰہُ وَ الَّذِیۡنَ مَعَہٗ فِی الۡفُلۡکِ وَ اَغۡرَقۡنَا الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا ؕ اِنَّہُمۡ کَانُوۡا قَوۡمًا عَمِیۡنَ ﴿٪۶۵

Sungguh Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allāh, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu kecuali Dia. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab Hari yang besar.” Pemuka-pemuka kaumnya berkata: “Sesungguhnya kami benar-benar melihat engkau berada dalam kesesatan yang nyata. Ia berkata: “Hai kaumku, sekali-kali tidak ada kesesatan padaku tetapi aku seorang rasul dari Tuhan seluruh alam. Aku menyampaikan kepada kamu risalah-risalah Tuhan-ku, aku menasihatimu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui. Merasa herankah kamu bahwa telah datang kepadamu suatu nasihat dari Tuhan-mu dengan perantaraan seorang laki-laki dari kalangan kamu supaya dia memperingatkanmu dan supaya kamu bertakwa dan supaya kamu diberi rahmat?” Tetapi mereka mendustakannya maka Kami menyelamatkan dia dan orang-orang yang besertanya dalam bahtera, dan Kami menenggelamkan orang-orang yang mendustakan Ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta ruhannya. “(Al-‘Araf [7]:60-65).

Kemudian mengenai Nabi Hud a.s. yang diutus kepada kaum ‘Ad Allah Swt. berfirman:

وَ اِلٰی عَادٍ اَخَاہُمۡ ہُوۡدًا ؕ قَالَ یٰقَوۡمِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ مَا لَکُمۡ مِّنۡ اِلٰہٍ غَیۡرُہٗ ؕ اَفَلَا تَتَّقُوۡنَ ﴿۶۶ قَالَ الۡمَلَاُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَوۡمِہٖۤ اِنَّا لَنَرٰىکَ فِیۡ سَفَاہَۃٍ وَّ اِنَّا لَنَظُنُّکَ مِنَ الۡکٰذِبِیۡنَ ﴿۶۷ قَالَ یٰقَوۡمِ لَیۡسَ بِیۡ سَفَاہَۃٌ وَّ لٰکِنِّیۡ رَسُوۡلٌ مِّنۡ رَّبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿۶۸ اُبَلِّغُکُمۡ رِسٰلٰتِ رَبِّیۡ وَ اَنَا لَکُمۡ نَاصِحٌ اَمِیۡنٌ ﴿۶۹ اَوَ عَجِبۡتُمۡ اَنۡ جَآءَکُمۡ ذِکۡرٌ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ عَلٰی رَجُلٍ مِّنۡکُمۡ لِیُنۡذِرَکُمۡ ؕ وَ اذۡکُرُوۡۤا اِذۡ جَعَلَکُمۡ خُلَفَآءَ مِنۡۢ بَعۡدِ قَوۡمِ نُوۡحٍ وَّ زَادَکُمۡ فِی الۡخَلۡقِ بَصۜۡطَۃً ۚ فَاذۡکُرُوۡۤا اٰلَآءَ اللّٰہِ لَعَلَّکُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ ﴿۷۰ قَالُوۡۤا اَجِئۡتَنَا لِنَعۡبُدَ اللّٰہَ وَحۡدَہٗ وَ نَذَرَ مَا کَانَ یَعۡبُدُ اٰبَآؤُنَا ۚ فَاۡتِنَا بِمَا تَعِدُنَاۤ اِنۡ کُنۡتَ مِنَ الصّٰدِقِیۡنَ ﴿۷۱ قَالَ قَدۡ وَقَعَ عَلَیۡکُمۡ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ رِجۡسٌ وَّ غَضَبٌ ؕ اَتُجَادِلُوۡنَنِیۡ فِیۡۤ اَسۡمَآءٍ سَمَّیۡتُمُوۡہَاۤ اَنۡتُمۡ وَ اٰبَآؤُکُمۡ مَّا نَزَّلَ اللّٰہُ بِہَا مِنۡ سُلۡطٰنٍ ؕ فَانۡتَظِرُوۡۤا اِنِّیۡ مَعَکُمۡ مِّنَ لۡمُنۡتَظِرِیۡنَ ﴿۷۲ فَاَنۡجَیۡنٰہُ وَ الَّذِیۡنَ مَعَہٗ بِرَحۡمَۃٍ مِّنَّا وَ قَطَعۡنَا دَابِرَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ مَا کَانُوۡا مُؤۡمِنِیۡنَ ﴿٪۷۳

Dan kepada [kaum] ‘Ad Kami utus saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allāh, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu kecuali Dia, lalu mengapakah kamu tidak mau bertakwa kepada-Nya?” Pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: ”Sesungguhnya kami benar-benar melihat engkau berada dalam kebodohan, dan sesung-guhnya kami benar-benar menganggap engkau termasuk di antara para pendusta.” Ia (Hud) berkata: ”Hai Kaumku, padaku tidak ada kebodohan sedikit pun melainkan aku seorang rasul dari Tuhan seluruh alam. Aku menyampaikan kepadamu risalah-risalah Tuhan-ku, dan aku seorang penasihat yang terpercaya bagimu. Merasa herankah kamu bahwa telah datang kepadamu suatu nasihat dari Tuhan-mu dengan perantaraan seorang laki-laki dari antaramu supaya ia memperingatkan kamu? Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu pengganti-pengganti sesudah kaum Nuh, dan melebihkan kamu dalam kekuatan jasmani, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu berhasil.” Mereka berkata: Apakah engkau datang kepada kami supaya kami hanya menyembah Allah saja, dan supaya kami meninggalkan apa yang senantiasa disembah oleh bapak-bapak (leluhur) kami? Maka datangkanlah kepada kami apa yang engkau ancamkan kepada kami, jika engkau termasuk orang-orang benar.” Ia (Hud) berkata: Sungguh telah menimpa atas kamu siksaan dan kemurkaan dari Tuhan-mu. Apakah kamu berbantah denganku mengenai nama-nama berhala yang kamu dan bapak-bapakmu menamainya, padahal Allah sama sekali tidak menurunkan sebuah dalil apa pun? Maka tunggulah, sesungguhnya aku pun besertamu termasuk orang-orang yang menunggu.” Maka Kami menyelamatkan dia (Hud) dan orang-orang yang besertanya dengan rahmat dari Kami, dan Kami memotong orang-orang yang mendustakan Ayat-ayat Kami sampai ke akar-akarnya, dan mereka sekali-kali bukanlah orang-orang yang beriman. (Al-‘Araaf [7]:66-73).

Selanjutnya mengenai Nabi Shalih a.s. yang diutus kepada kaum Tsamud Allah Swt. berfirman:

وَ اِلٰی ثَمُوۡدَ اَخَاہُمۡ صٰلِحًا ۘ قَالَ یٰقَوۡمِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ مَا لَکُمۡ مِّنۡ اِلٰہٍ غَیۡرُہٗ ؕ قَدۡ جَآءَتۡکُمۡ بَیِّنَۃٌ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ ؕ ہٰذِہٖ نَاقَۃُ اللّٰہِ لَکُمۡ اٰیَۃً فَذَرُوۡہَا تَاۡکُلۡ فِیۡۤ اَرۡضِ اللّٰہِ وَ لَا تَمَسُّوۡہَا بِسُوۡٓءٍ فَیَاۡخُذَکُمۡ عَذَابٌ اَلِیۡمٌ ﴿۷۴ وَ اذۡکُرُوۡۤا اِذۡ جَعَلَکُمۡ خُلَفَآءَ مِنۡۢ بَعۡدِ عَادٍ وَّ بَوَّاَکُمۡ فِی الۡاَرۡضِ تَتَّخِذُوۡنَ مِنۡ سُہُوۡلِہَا قُصُوۡرًا وَّ تَنۡحِتُوۡنَ الۡجِبَالَ بُیُوۡتًا ۚ فَاذۡکُرُوۡۤا اٰلَآءَ اللّٰہِ وَ لَا تَعۡثَوۡا فِی الۡاَرۡضِ مُفۡسِدِیۡنَ ﴿۷۵ قَالَ الۡمَلَاُ الَّذِیۡنَ اسۡتَکۡبَرُوۡا مِنۡ قَوۡمِہٖ لِلَّذِیۡنَ اسۡتُضۡعِفُوۡا لِمَنۡ اٰمَنَ مِنۡہُمۡ اَتَعۡلَمُوۡنَ اَنَّ صٰلِحًا مُّرۡسَلٌ مِّنۡ رَّبِّہٖ ؕ قَالُوۡۤا اِنَّا بِمَاۤ اُرۡسِلَ بِہٖ مُؤۡمِنُوۡنَ ﴿۷۶ قَالَ الَّذِیۡنَ اسۡتَکۡبَرُوۡۤا اِنَّا بِالَّذِیۡۤ اٰمَنۡتُمۡ بِہٖ کٰفِرُوۡنَ ﴿۷۷ فَعَقَرُوا النَّاقَۃَ وَ عَتَوۡا عَنۡ اَمۡرِ رَبِّہِمۡ وَ قَالُوۡا یٰصٰلِحُ ائۡتِنَا بِمَا تَعِدُنَاۤ اِنۡ کُنۡتَ مِنَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿۷۸ فَاَخَذَتۡہُمُ الرَّجۡفَۃُ فَاَصۡبَحُوۡا فِیۡ دَارِہِمۡ جٰثِمِیۡنَ ﴿۷۹ فَتَوَلّٰی عَنۡہُمۡ وَ قَالَ یٰقَوۡمِ لَقَدۡ اَبۡلَغۡتُکُمۡ رِسَالَۃَ رَبِّیۡ وَ نَصَحۡتُ لَکُمۡ وَ لٰکِنۡ لَّا تُحِبُّوۡنَ النّٰصِحِیۡنَ ﴿۸۰

Dan kepada Tsamud Kami utus saudara mereka, Shalih. Ia berkata: “Hai kaum-ku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu kecuali Dia. Sungguh telah datang kepadamu satu bukti yang nyata dari Tuhanmu, ini adalah unta-betina Allah, suatu Tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah dan janganlah kamu menyentuhnya dengan maksud buruk maka kamu akan ditimpa siksaan yang pedih. Dan ingatlah saat ketika Dia menjadikan kamu pengganti sesudah kaum ‘Ad, dan Dia menempatkanmu di bumi, kamu mendirikan istana-istana di atas tanah-tanah datarnya dan kamu memahat gunung-gunung untuk dibuat rumah-rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela membuat kerusakan di muka bumi.” Pemuka-pemuka kaumnya yang sombong berkata kepada orang-orang yang mereka anggap lemah yakni orang-orang yang telah beriman di antara mereka: “Apakah kamu mengetahui dengan pasti bahwa sesungguhnya Shalih adalah orang yang diutus oleh Tuhan-nya?” Mereka berkata: “Sesungguhnya kami beriman kepada apa yang dengan itu dia diutus untuk menyampaikannya.” Orang-orang yang takabur itu berkata: Sesungguhnya kami tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu.” Lalu mereka memotong urat lutut kaki unta betina itu dan berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan mereka, dan berkata: “Hai Shalih! Datangkanlah kepada kami apa yang engkau ancamkan kepada kami itu, jika engkau sungguh termasuk orang-orang yang diutus.” Lalu mereka ditimpa gempa bumi maka mereka bergelimpangan binasa di dalam rumah-rumahnya. Maka Shalih berpaling dari mereka dan berkata: ”Hai kaumku, sungguh aku benar-benar telah menyampaikan kepada kamu risalah-risalah Tuhan-ku, dan aku telah memberi nasihat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasihat.” (Al-‘Araf [7]:74-81).

Mengenai Nabi Syu’aib a.s. yang diutus kepada kaum Madyan Allah Swt. berfirman:

وَ اِلٰی مَدۡیَنَ اَخَاہُمۡ شُعَیۡبًا ؕ قَالَ یٰقَوۡمِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ مَا لَکُمۡ مِّنۡ اِلٰہٍ غَیۡرُہٗ ؕ قَدۡ جَآءَتۡکُمۡ بَیِّنَۃٌ مِّنۡ رَّبِّکُمۡ فَاَوۡفُوا لۡکَیۡلَ وَ الۡمِیۡزَانَ وَ لَا تَبۡخَسُوا النَّاسَ اَشۡیَآءَہُمۡ وَ لَا تُفۡسِدُوۡا فِی الۡاَرۡضِ بَعۡدَ اِصۡلَاحِہَا ؕ ذٰلِکُمۡ خَیۡرٌ لَّکُمۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِیۡنَ ﴿ۚ۸۶ وَ لَا تَقۡعُدُوۡا بِکُلِّ صِرَاطٍ تُوۡعِدُوۡنَ وَ تَصُدُّوۡنَ عَنۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ مَنۡ اٰمَنَ بِہٖ وَ تَبۡغُوۡنَہَا عِوَجًا ۚ وَ اذۡکُرُوۡۤا اِذۡ کُنۡتُمۡ قَلِیۡلًا فَکَثَّرَکُمۡ ۪ وَ نۡظُرُوۡا کَیۡفَ کَانَ عَاقِبَۃُ الۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿۸۷ وَ اِنۡ کَانَ طَآئِفَۃٌ مِّنۡکُمۡ اٰمَنُوۡا بِالَّذِیۡۤ اُرۡسِلۡتُ بِہٖ وَ طَآئِفَۃٌ لَّمۡ یُؤۡمِنُوۡا فَاصۡبِرُوۡا حَتّٰی یَحۡکُمَ اللّٰہُ بَیۡنَنَا ۚ وَ ہُوَ خَیۡرُ الۡحٰکِمِیۡنَ ﴿۸۸ قَالَ الۡمَلَاُ الَّذِیۡنَ اسۡتَکۡبَرُوۡا مِنۡ قَوۡمِہٖ لَنُخۡرِجَنَّکَ یٰشُعَیۡبُ وَ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مَعَکَ مِنۡ قَرۡیَتِنَاۤ اَوۡ لَتَعُوۡدُنَّ فِیۡ مِلَّتِنَا ؕ قَالَ اَوَ لَوۡ کُنَّا کٰرِہِیۡنَ ﴿۟۸۹ قَدِ افۡتَرَیۡنَا عَلَی اللّٰہِ کَذِبًا اِنۡ عُدۡنَا فِیۡ مِلَّتِکُمۡ بَعۡدَ اِذۡ نَجّٰنَا اللّٰہُ مِنۡہَا ؕ وَ مَا یَکُوۡنُ لَنَاۤ اَنۡ نَّعُوۡدَ فِیۡہَاۤ اِلَّاۤ اَنۡ یَّشَآءَ اللّٰہُ رَبُّنَا ؕ وَسِعَ رَبُّنَا کُلَّ شَیۡءٍ عِلۡمًا ؕ عَلَی اللّٰہِ تَوَکَّلۡنَا ؕ رَبَّنَا افۡتَحۡ بَیۡنَنَا وَ بَیۡنَ قَوۡمِنَا بِالۡحَقِّ وَ اَنۡتَ خَیۡرُ الۡفٰتِحِیۡنَ ﴿۹۰ وَ قَالَ الۡمَلَاُ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ قَوۡمِہٖ لَئِنِ اتَّبَعۡتُمۡ شُعَیۡبًا اِنَّکُمۡ اِذًا لَّخٰسِرُوۡنَ ﴿۹۱ فَاَخَذَتۡہُمُ الرَّجۡفَۃُ فَاَصۡبَحُوۡا فِیۡ دَارِہِمۡ جٰثِمِیۡنَ ﴿ۚۖۛ۹۲ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا شُعَیۡبًا کَاَنۡ لَّمۡ یَغۡنَوۡا فِیۡہَا ۚۛ اَلَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا شُعَیۡبًا کَانُوۡا ہُمُ الۡخٰسِرِیۡنَ ﴿۹۳ فَتَوَلّٰی عَنۡہُمۡ وَ قَالَ یٰقَوۡمِ لَقَدۡ اَبۡلَغۡتُکُمۡ رِسٰلٰتِ رَبِّیۡ وَ نَصَحۡتُ لَکُمۡ ۚ فَکَیۡفَ اٰسٰی عَلٰی قَوۡمٍ کٰفِرِیۡنَ ﴿٪۹۴


Dan Kami utus pula kepada Madyan saudara mereka Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu kecuali Dia. Sungguh telah datang kepadamu Tanda yang nyata dari Tuhan-mu, maka penuhilah sukatan dan timbangan, janganlah kamu merugikan manusia atas barang-barang mereka, dan janganlah kamu menimbulkan kerusakan di muka bumi ini setelah diperbaiki keadaannya. Hal demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman. Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan mengancam dan menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang beriman kepada-Nya, dan kamu menginginkannya bengkok. Dan ingatlah ketika kamu dahulu sedikit lalu Dia memperbanyak kamu, dan lihatlah bagaimana akibat buruk orang-orang yang berbuat kerusakan itu! “Dan jika ada segolongan di antara kamu beriman kepada apa yang dengannya aku diutus, sedangkan segolongan lain tidak beriman maka bersabarlah kamu hingga Allah memberi keputusan di antara kita, dan Dia-lah sebaik-baik Pemberi keputusan.” Pemuka-pemuka kaumnya yang sombong berkata: “Hai Syu’aib, niscaya kami akan mengusir engkau, dan juga orang-orang yang telah beriman beserta engkau dari kota kami, atau kamu harus kembali ke dalam agama kami.” Ia berkata: “Apakah walaupun kami benar-benar tidak menyukainya? [Jika demikian maka] sungguh kami telah mengada-adakan kedustaan terhadap Allah, seandainya kami kembali ke dalam agama kamu, setelah Allah menyelamatkan kami darinya. Dan sekali-kali tidak layak bagi kami kembali ke dalamnya kecuali jika Allāh Tuhan kami menghendaki. Ilmu Tuhan kami meliputi segala sesuatu, kepada Allah-lah kami bertawakal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan di antara kami dan kaum kami dengan haq dan Engkau adalah sebaik-baik Pemberi Keputusan.” Dan pemuka-pemuka yang kafir dari kaumnya berkata: “Jika kamu mengikuti Syu’aib, jika demikian pasti kamu akan menjadi orang-orang yang rugi.” Lalu mereka ditimpa gempa bumi, maka mereka bergelimpangan binasa di dalam rumah-rumahnya. Orang-orang yang mendustakan Syu’aib, mereka seperti tidak pernah tinggal di dalamnya. Orang-orang yang mendustakan Syu’aib me-reka itu benar-benar orang-orang yang rugi. Lalu ia (Syu’aib) berpaling dari mereka seraya berkata: ”Hai kaumku, sungguh aku benar-benar telah menyampaikan kepadamu risalah-risalah Tuhan-ku, dan aku telah memberikan nasihat kepadamu, karena itu bagaimana mungkin aku harus bersedih hati terhadap orang-orang kafir.” (Al’Araf [7]:86-94).

Gaya Nabi Ibrahim a.s. Menyadarkan Kesesatan Kaumnya


Walau pun setiap Rasul Allah menyeru kaumnya (manusia) kepada Tauhid Ilahi yang sama, tetapi setiap Rasul Allah memiliki cara dan gaya yang berlainan dalam cara menyampaikannya, misalnya Nabi Ibrahim a.s. melakukannya dengan cara “menyindir” (sindiran), sedangkan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. banyak menampilkan perumpamaan-perumpamaan, berikut firman-Nya Nabi Ibrahim a.s.:

وَ لَقَدۡ اٰتَیۡنَاۤ اِبۡرٰہِیۡمَ رُشۡدَہٗ مِنۡ قَبۡلُ وَ کُنَّا بِہٖ عٰلِمِیۡنَ ﴿ۚ۵۲ اِذۡ قَالَ لِاَبِیۡہِ وَ قَوۡمِہٖ مَا ہٰذِہِ التَّمَاثِیۡلُ الَّتِیۡۤ اَنۡتُمۡ لَہَا عٰکِفُوۡنَ ﴿۵۳ قَالُوۡا وَجَدۡنَاۤ اٰبَآءَنَا لَہَا عٰبِدِیۡنَ ﴿۵۴ قَالَ لَقَدۡ کُنۡتُمۡ اَنۡتُمۡ وَ اٰبَآؤُکُمۡ فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿۵۵ قَالُوۡۤا اَجِئۡتَنَا بِالۡحَقِّ اَمۡ اَنۡتَ مِنَ اللّٰعِبِیۡنَ ﴿۵۶ قَالَ بَلۡ رَّبُّکُمۡ رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ الَّذِیۡ فَطَرَہُنَّ ۫ۖ وَ اَنَا عَلٰی ذٰلِکُمۡ مِّنَ الشّٰہِدِیۡنَ ﴿۵۷ وَ تَاللّٰہِ لَاَکِیۡدَنَّ اَصۡنَامَکُمۡ بَعۡدَ اَنۡ تُوَلُّوۡا مُدۡبِرِیۡنَ ﴿۵۸ فَجَعَلَہُمۡ جُذٰذًا اِلَّا کَبِیۡرًا لَّہُمۡ لَعَلَّہُمۡ اِلَیۡہِ یَرۡجِعُوۡنَ ﴿۵۹ قَالُوۡا مَنۡ فَعَلَ ہٰذَا اٰلِہَتِنَاۤ اِنَّہٗ لَمِنَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿۶۰ قَالُوۡا سَمِعۡنَا فَتًی یَّذۡکُرُہُمۡ یُقَالُ لَہٗۤ اِبۡرٰہِیۡمُ ﴿ؕ۶۱ قَالُوۡا فَاۡتُوۡا بِہٖ عَلٰۤی اَعۡیُنِ النَّاسِ لَعَلَّہُمۡ یَشۡہَدُوۡنَ ﴿۶۲ قَالُوۡۤا ءَاَنۡتَ فَعَلۡتَ ہٰذَا بِاٰلِہَتِنَا یٰۤـاِبۡرٰہِیۡمُ ﴿ؕ۶۳ قَالَ بَلۡ فَعَلَہٗ ٭ۖ کَبِیۡرُہُمۡ ہٰذَا فَسۡـَٔلُوۡہُمۡ اِنۡ کَانُوۡا یَنۡطِقُوۡنَ ﴿۶۴ فَرَجَعُوۡۤا اِلٰۤی اَنۡفُسِہِمۡ فَقَالُوۡۤا اِنَّکُمۡ اَنۡتُمُ الظّٰلِمُوۡنَ ﴿ۙ۶۵ ثُمَّ نُکِسُوۡا عَلٰی رُءُوۡسِہِمۡ ۚ لَقَدۡ عَلِمۡتَ مَا ہٰۤؤُلَآءِ یَنۡطِقُوۡنَ ﴿۶۶ قَالَ اَفَتَعۡبُدُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ مَا لَا یَنۡفَعُکُمۡ شَیۡئًا وَّ لَا یَضُرُّکُمۡ ﴿ؕ۶۷ اُفٍّ لَّکُمۡ وَ لِمَا تَعۡبُدُوۡنَ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ؕ اَفَلَا تَعۡقِلُوۡنَ ﴿۶۸ قَالُوۡا حَرِّقُوۡہُ وَ انۡصُرُوۡۤا اٰلِہَتَکُمۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ فٰعِلِیۡنَ ﴿۶۹ قُلۡنَا یٰنَارُ کُوۡنِیۡ بَرۡدًا وَّ سَلٰمًا عَلٰۤی اِبۡرٰہِیۡمَ ﴿ۙ۷۰ وَ اَرَادُوۡا بِہٖ کَیۡدًا فَجَعَلۡنٰہُمُ الۡاَخۡسَرِیۡنَ ﴿ۚ۷۱ وَ نَجَّیۡنٰہُ وَ لُوۡطًا اِلَی الۡاَرۡضِ الَّتِیۡ بٰرَکۡنَا فِیۡہَا لِلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿۷۲ وَ وَہَبۡنَا لَہٗۤ اِسۡحٰقَ ؕ وَ یَعۡقُوۡبَ نَافِلَۃً ؕ وَ کُلًّا جَعَلۡنَا صٰلِحِیۡنَ ﴿۷۳ وَ جَعَلۡنٰہُمۡ اَئِمَّۃً یَّہۡدُوۡنَ بِاَمۡرِنَا وَ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡہِمۡ فِعۡلَ الۡخَیۡرٰتِ وَ اِقَامَ الصَّلٰوۃِ وَ اِیۡتَآءَ الزَّکٰوۃِ ۚ وَ کَانُوۡا لَنَا عٰبِدِیۡنَ ﴿ۚۙ۷۴

Dan sungguh sebelumnya Kami benar-benar telah memberikan kepada Ibrahim petunjuknya dan Kami mengetahui benar tentang dia. Ketika ia berkata kepada ayahnya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini, yang kamu duduk tekun menyembah kepadanya?” Mereka berkata: Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya.” Ia (Ibrahim) berkata: “Sungguh kamu dan bapak-bapakmu benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Mereka berkata: “Apakah [ajaran] yang engkau datangkan kepada kami itu adalah haq, ataukah engkau termasuk orang-orang yang bermain-main?” Ia berkata: “Tidak, bahkan Tuhan kamu adalah Tuhan seluruh langit dan bumi, Dia-lah Yang telah menciptakannya, dan atas hal itu aku termasuk orang-orang yang menjadi saksi. Dan demi Allah, niscaya aku akan membuat rencana melawan berhala-berhalamu, setelah kamu berlalu membalikkan punggungmu.” Maka ia membuat berhala-hala itu pecah berkeping-keping, kecuali yang terbesar dari [berhala] mereka itu, supaya mereka kembali kepadanya kembali. Mereka berkata: “Siapakah yang telah berbuat demikian terhadap tuhan-tuhan kami? Sesungguhnya ia benar-benar orang yang zalim!” Mereka berkata: “Kami mendengar seorang pemuda yang mencela mereka (berhala-berhala) itu, ia disebut Ibrahim. Mereka berkata: “Maka bawalah dia ke hadapan mata manusia supaya mereka dapat menjadi saksi.” Mereka berkata [kepada Ibrahim]: “Apakah engkau yang telah berbuat seperti ini terhadap tuhan-tuhan kami, ya Ibrahim?” 64. Ia menjawab: “Bahkan, seseorang telah berbuat itu. Di antara mereka [patung] yang besar ini maka tanyakanlah kepada mereka (patung-patung) jika mereka dapat berkata-kata.” Maka mereka [dengan malu] kembali kepada pemimpin mereka lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sendiri orang-orang yang zalim.” Kemudian mereka sambil menundukkan kepala mereka [berkata kepada Ibrahim]: “Sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa mereka itu tidak dapat berkata-kata.” 67. Ia (Ibrahim) berkata: ”Apakah kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak memberikan manfaat kepadamu sedikit pun dan tidak memudaratkanmu? “Ah celakalah atas kamu dan atas apa yang kamu sembah selain Allah! Apakah kamu tidak mengerti?” Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu mau melakukan sesuatu.” Kami berfirman: “Hai api, ja-dilah kamu dingin dan keselamatan bagi Ibrahim!” Dan mereka bermaksud akan melakukan makar terhadap dia, tetapi Kami menjadikan mereka orang-orang yang paling rugi. Dan Kami telah menyelamatkan dia (Ibrahim) dan Luth ke negeri yang telah Kami berkati di dalamnya untuk seluruh umat manusia. Dan Kami menganugerahkan kepadanya Ishaq, dan seorang cucu, Ya’qub, dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang saleh. Dan Kami menjadikan mereka imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami, dan Kami wahyukan kepada mereka untuk berbuat kebaikan-kebaikan, dan mendirikan shalat serta membayar zakat, dan hanya kepada Kami mereka menyembah. (Al-Anbiyya [21]:52-74). Lihat pula QS.37:84-100.


Nabi Ibrahim a.s. Membungkam Mulut Raja Namrud


Jadi, kalimat “rusydahuu” (petunjuknya – QS.21:52) dapat mengisyaratkan kepada gaya dan cara Nabi Ibrahim a.s. yang khas dalam mengajarkan Tauhid Ilahi kepada kaumnya yang menyembah patung-patung, yaitu dengan gaya menyindir (sindiran). Mengisyaratkan kepada hal itu pulalah firman-Nya berikut ini tentang Nabi Ibrahim a.s.:

وَ اِذۡ قَالَ اِبۡرٰہِیۡمُ لِاَبِیۡہِ اٰزَرَ اَتَتَّخِذُ اَصۡنَامًا اٰلِہَۃً ۚ اِنِّیۡۤ اَرٰىکَ وَ قَوۡمَکَ فِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ﴿۷۵ وَ کَذٰلِکَ نُرِیۡۤ اِبۡرٰہِیۡمَ مَلَکُوۡتَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ وَ لِیَکُوۡنَ مِنَ الۡمُوۡقِنِیۡنَ ﴿۷۶ فَلَمَّا جَنَّ عَلَیۡہِ الَّیۡلُ رَاٰ کَوۡکَبًا ۚ قَالَ ہٰذَا رَبِّیۡ ۚ فَلَمَّاۤ اَفَلَ قَالَ لَاۤ اُحِبُّ الۡاٰفِلِیۡنَ ﴿۷۷ فَلَمَّا رَاَ الۡقَمَرَ بَازِغًا قَالَ ہٰذَا رَبِّیۡ ۚ فَلَمَّاۤ اَفَلَ قَالَ لَئِنۡ لَّمۡ یَہۡدِنِیۡ رَبِّیۡ لَاَکُوۡنَنَّ مِنَ الۡقَوۡمِ الضَّآلِّیۡنَ ﴿۷۸ فَلَمَّا رَاَ الشَّمۡسَ بَازِغَۃً قَالَ ہٰذَا رَبِّیۡ ہٰذَاۤ اَکۡبَرُ ۚ فَلَمَّاۤ اَفَلَتۡ قَالَ یٰقَوۡمِ اِنِّیۡ بَرِیۡٓءٌ مِّمَّا تُشۡرِکُوۡنَ ﴿۷۷۹ اِنِّیۡ وَجَّہۡتُ وَجۡہِیَ لِلَّذِیۡ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ حَنِیۡفًا وَّ مَاۤ اَنَا مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿ۚ۸۰ وَ حَآجَّہٗ قَوۡمُہٗ ؕ قَالَ اَتُحَآجُّوۡٓنِّیۡ فِی اللّٰہِ وَ قَدۡ ہَدٰىنِ ؕ وَ لَاۤ اَخَافُ مَا تُشۡرِکُوۡنَ بِہٖۤ اِلَّاۤ اَنۡ یَّشَآءَ رَبِّیۡ شَیۡئًا ؕ وَسِعَ رَبِّیۡ کُلَّ شَیۡءٍ عِلۡمًا ؕ اَفَلَا تَتَذَکَّرُوۡنَ ﴿۸۱ وَ کَیۡفَ اَخَافُ مَاۤ اَشۡرَکۡتُمۡ وَ لَا تَخَافُوۡنَ اَنَّکُمۡ اَشۡرَکۡتُمۡ بِاللّٰہِ مَا لَمۡ یُنَزِّلۡ بِہٖ عَلَیۡکُمۡ سُلۡطٰنًا ؕ فَاَیُّ الۡفَرِیۡقَیۡنِ اَحَقُّ بِالۡاَمۡنِ ۚ اِنۡ کُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ ﴿ۘ۸۲ اَلَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ لَمۡ یَلۡبِسُوۡۤا اِیۡمَانَہُمۡ بِظُلۡمٍ اُولٰٓئِکَ لَہُمُ الۡاَمۡنُ وَ ہُمۡ مُّہۡتَدُوۡنَ ﴿٪۸۳ وَ تِلۡکَ حُجَّتُنَاۤ اٰتَیۡنٰہَاۤ اِبۡرٰہِیۡمَ عَلٰی قَوۡمِہٖ ؕ نَرۡفَعُ دَرَجٰتٍ مَّنۡ نَّشَآءُ ؕ اِنَّ رَبَّکَ حَکِیۡمٌ عَلِیۡمٌ ﴿۸۴

Dan [ingatlah] ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar: “Apakah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai sembahan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.” Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan seluruh langit dan bumi dan supaya ia menjadi di antara orang-orang yang berkeyakinan. Maka tatkala kegelapan malam meliputinya ia melihat sebuah bintang, ia berkata [menyindir]: “Ini Tuhan-ku!” tetapi tatkala bintang itu terbenam ia berkata: “Aku tidak suka [sesuatu] yang terbenam.” Lalu tatkala ia melihat bulan terbit memancarkan cahaya, ia berkata: “[Barangkali] ini Tuhan-ku!” Tetapi tatkala terbenam, ia berkata: “Jika Tuhan-ku benar-benar tidak memberi petunjuk kepadaku niscaya aku akan menjadi di antara kaum yang sesat.” Maka tatkala ia melihat matahari bersinar, ia berkata: “[Mungkin] ini Tuhan-ku. Ini paling besar.” Tetapi tatkala terbenam, ia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku terlepas dari apa pun yang kamu persekutukan [dengan Allah]. Sesungguhnya aku menghadapkan seluruh wajahku kepada Dia Pencipta seluruh langit dan bumi dengan hati cenderung kepada Allah selama-lamanya, dan aku sekali-kali bukan dari golongan orang-orang musyrik. Dan kaumnya berbantah dengannya. Ia berkata: “Apakah kamu berbantah dengan aku mengenai Allah padahal sungguh Dia telah memberi petunjuk kepadaku? Dan aku tidak takut terhadap apa pun yang kamu persekutukan dengan-Nya, kecuali jika Tuhan-ku menghendaki sesuatu. Ilmu Tuhan-ku meliputi segala sesuatu, maka apakah kamu tidak mengambil peringatan? Dan bagaimana mungkin aku takut kepada apa yang kamu persekutukan [dengan Allah], bila kamu tidak takut bahwa sesungguhnya kamu mempersekutukan dengan Allah apa yang mengenainya Dia tidak pernah menurunkan dalil yang kuat kepadamu?” Maka jika kamu mengetahui, manakah di antara dua pihak itu yang lebih berhak atas keamanan? Orang-orang yang beriman dan tidak pernah mencampurbaurkan ke-imanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang akan memperoleh keamanan dan mereka itulah yang mendapat petunjuk. Dan itulah dalil Kami, Kami memberikannya kepada Ibrahim terhadap kaumnya. Kami meninggikan derajat orang yang Kami kehen-daki. Sesungguhnya Tuhan engkau Maha Bijaksana, Maha Mengetahui. (Al-An’aam [6]:75-84).

Ayat itu berarti bahwa Allah Swt. melimpahkan kepada Nabi Ibrahim a.s. pengetahuan dan pengertian mengenai hukum-hukum alam yang berlaku di alam semesta ini dan melimpahkan ilmu tentang kekuatan serta kekuasaan Allah Swt. Yang meliputi segala-gala.

Ayat-ayat 77 sampai 79 mengandung keterangan yang diberikan Nabi Ibrahim a.s. untuk menjelaskan kepada kaumnya — penganut agama berhala — kejanggalan kepercayaan mereka bahwa matahari, bulan, dan bintang-bintang adalah di antara sekian banyak sembahan mereka (Jewish Encyclopaedia).

Adalah keliru mengambil kesimpulan dari ayat-ayat ini bahwa Nabi Ibrahim a.a. sendiri meraba-raba dalam kegelapan (kemusyikan) dan tidak tahu siapa gerangan Tuhan-nya, dan bahwa beliau menganggap bintang timur, bulan, dan matahari satu-persatu sebagai tuhan, dan bilamana tiap-tiap dari mereka tenggelam pada gilirannya masing-masing beliau melepaskan kepercayaan mengenai ketuhanan mereka, dan beliau kembali kepada Tuhan Yang Mahaesa, Pencipta langit dan bumi.

Sebenarnya, ayat-ayat itu mengandung beberapa keterangan yang menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. jauh dari kemungkinan mengambil benda-benda di langit sebagai tuhan-tuhan, berusaha memperlihatkan kepada kaumnya kehampaan kepercayaan mereka dengan cara selangkah demi selangkah. Ayat-ayat 75-76 menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. itu seorang yang teguh kepercayaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa. Oleh karena itu beliau tidak dapat dianggap meraba-raba dalam kegelapan dan melantur dari satu tuhan kepada yang lainnya. Kata-kata, “Inikah Tuhan-ku?”, merupakan dalil yang menentang penyembahan bintang. Beliau mengucapkan kata-kata itu untuk menerangkan kekeliruan kepercayaan kaum beliau bahwa bintang itu tuhan mereka. Lebih-lebih, beliau sudah mengetahui bahwa bintang-bintang itu harus tenggelam.

Jadi, dalil beliau yang terkandung dalam kata-kata “Aku tidak suka kepada yang terbenam,” niscaya sudah terkandung sebelumnya dalam pikiran beliau. Pada hakikatnya beliau ingin menggunakan dalil beliau dalam tiga cara yang sangat jitu. Oleh karena itu mula-mula beliau seolah-olah menduga bintang itu Tuhan-nya dan, bila lenyap, beliau segera menyatakan, “Aku tidak suka kepada yang terbenam. Seperti itu pula halnya dengan terbenamnya bulan dan matahari. Adapun mengenai matahari beliau menggunakan kata “lebih besar” atau “terbesar” secara sindiran, untuk mencela kaum beliau atas kebodohan mereka.

Hal itu jelas menunjukkan bahwa dengan jalur dalil-dalil yang dipakai Nabi Ibrahim a.s. berniat menarik kaum beliau kepada Allah Swt. secara bertahap. Selayang pandangan atas ayat-ayat 80-82 membuat jelas sekali bahwa Nabi Ibrahim a.s. tidak hanya memiliki keimanan yang teguh kepada Allah Swt., bahkan tetapi juga mempunyai pengetahuan mendalam mengenai Sifat-sifat Tuhan.

Ayat 82 dan dua ayat sebelumnya secara pasti menunjukkan bahwa kejadian yang diceriterakan dalam ayat-ayat 77-79 sengaja digunakan oleh Nabi Ibrahim a.s. sebagai hujjah (dalil) padahal, beliau sendiri sungguh orang yang berpegang teguh kepada tauhid dan telah meneguk air sekenyang-kenyangnya dari sumber air kecintaan dan makrifat Ilahi.

Ayat 84 dengan cara-yang-pasti memecahkan persoalan apakah Nabi Ibrahim a.s. secara berangsur mencapai keimanan kepada Allah Swt. dengan mengambil satu benda langit sesudah lainnya sebagai tuhannya ataukah merupakan hujjah yang jitu ditata secara bertahap, sehingga dengan jalan itu beliau berusaha menunjukkan kekeliruan kaumnya dalam menyembah benda-benda langit ini sebagai sembahan. Ayat ini menunjukkan bahwa keimanan Nabi Ibrahim a.s. semenjak dini telah jelas dan teguh kepada Tauhid Ilahi dan bahwa apa yang dikatakan beliau berkenaan dengan matahari, bulan, dan sebagainya merupakan sebagian dari hujjah (dalil) yang telah diajarkan Allah Swt. kepada beliau.

Demikian telak dalil-dalil atau argumentasi yang dikemukakan cara Nabi Ibrahim a.s. sehingga raja Namrud yang membanggakan diri memiliki kekuasaan besar pun menjadi bungkam seribu bahasa ketika berdoalog (berdebat) dengan Nabi Ibrahim a.s., firman-Nya:

اَلَمۡ تَرَ اِلَی الَّذِیۡ حَآجَّ اِبۡرٰہٖمَ فِیۡ رَبِّہٖۤ اَنۡ اٰتٰىہُ اللّٰہُ الۡمُلۡکَ ۘ اِذۡ قَالَ اِبۡرٰہٖمُ رَبِّیَ الَّذِیۡ یُحۡیٖ وَ یُمِیۡتُ ۙ قَالَ اَنَا اُحۡیٖ وَ اُمِیۡتُ ؕ قَالَ اِبۡرٰہٖمُ فَاِنَّ اللّٰہَ یَاۡتِیۡ بِالشَّمۡسِ مِنَ الۡمَشۡرِقِ فَاۡتِ بِہَا مِنَ الۡمَغۡرِبِ فَبُہِتَ الَّذِیۡ کَفَرَ ؕ وَ اللّٰہُ لَا یَہۡدِی الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِیۡنَ ﴿۸۵۹﴾ۚ

Apakah engkau tidak memperhatikan orang yang membantah Ibrahim mengenai Tuhan-nya karena Allah telah memberi kerajaan kepadanya? Ketika Ibrahim berkata: Tuhan-ku-lah Yang menghidupkan dan mematikan.” Ia (Namrud) menjawab: “Aku pun [berkuasa] menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah [matahari] itu dari barat!” Lalu terdiam kebingungan orang yang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Al-Baqarah [2]:259).

Nabi Ibrahim a.s. itu seorang pemberantas-berhala besar. Kaumnya menyembah matahari dan bintang-bintang, dewa utama mereka ialah Madruk yang asalnya dewa pagi dan matahari musim semi (Encyclopaedia. Biblica. dan Encyclopaedia of Religion and Ethics II. 296). Mereka percaya bahwa semua kehidupan bergantung pada matahari. Ibrahim a.s. dengan bijaksana meminta orang musyrik itu, seandainya ia mengaku dapat mengatur hidup dan mati, agar mengubah jalan tempuhan matahari yang padanya bergantung segala kehidupan itu. Orang kafir itu pun kebingungan. Ia tidak dapat mengatakan tak dapat menerima tantangan Nabi Ibrahim a.s untuk menyuruh matahari beredar dari barat ke timur, sebab hal demikian akan membatalkan pengakuannya sendiri sebagai pengatur hidup dan mati, dan bila ia mengatakan dapat berbuat demikian maka itu berarti ia menguasai matahari tetapi niscaya merupakan suatu penghinaan besar pada pandangan kaumnya, penyembah matahari. Dengan demikian ia sama sekali menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dikatakan olehnya.

Para Rasul Keturunan Nabi Ibrahim a.s. & Nabi Besar Muhammad saw.

Selanjutnya Allah Swt. berfirman tentang Nabi Ibrahim a.s. dan keturunan beliau a.s. yang juga sebagai Rasul Allah:

وَ وَہَبۡنَا لَہٗۤ اِسۡحٰقَ وَ یَعۡقُوۡبَ ؕ کُلًّا ہَدَیۡنَا ۚ وَ نُوۡحًا ہَدَیۡنَا مِنۡ قَبۡلُ وَ مِنۡ ذُرِّیَّتِہٖ دَاوٗدَ وَ سُلَیۡمٰنَ وَ اَیُّوۡبَ وَ یُوۡسُفَ وَ مُوۡسٰی وَ ہٰرُوۡنَ ؕ وَ کَذٰلِکَ نَجۡزِی الۡمُحۡسِنِیۡنَ ﴿ۙ۸۵ وَ زَکَرِیَّا وَ یَحۡیٰی وَ عِیۡسٰی وَ اِلۡیَاسَ ؕ کُلٌّ مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿ۙ۸۶ وَ اِسۡمٰعِیۡلَ وَ الۡیَسَعَ وَ ُوۡنُسَ وَ لُوۡطًا ؕ وَ کُلًّا فَضَّلۡنَا عَلَی الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿ۙ۸۷ وَ مِنۡ اٰبَآئِہِمۡ وَ ذُرِّیّٰتِہِمۡ وَ اِخۡوَانِہِمۡ ۚ وَ اجۡتَبَیۡنٰہُمۡ وَ ہَدَیۡنٰہُمۡ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ﴿۸۸ ذٰلِکَ ہُدَی اللّٰہِ یَہۡدِیۡ بِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِہٖ ؕ وَ لَوۡ اَشۡرَکُوۡا لَحَبِطَ عَنۡہُمۡ مَّا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿۸۹

Dan Kami menganugerahkan kepadanya, Ishaq dan Ya’qub, masing-masing Kami beri petunjuk, dan sebelumnya Kami telah memberi petunjuk kepada Nuh; dan dari ketu-runannyalah Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun, dan demikianlah Kami memberi ganjaran kepada mereka yang berbuat ihsan. Dan Zakaria, Yahya, ‘Isa dan Ilyas, masing-masing mereka termasuk di antara orang-orang shalih. Dan Isma’il, Al-Yasa’, Yunus, Luth, dan masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas seluruh alam di masanya. Dan dari kalangan bapak-bapak mereka, keturunan mereka, saudara-saudara mereka, dan Kami telah memilih mereka serta menunjuki mereka kepada jalan yang lurus. Itulah petunjuk Allah, dengan itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan jika mereka berbuat syirik, pasti lenyap dari mereka apa yang telah mereka kerjakan. (Al-An’aam [6]:85-89).


Selanjutnya Allah Swt. berfirman:

اُولٰٓئِکَ الَّذِیۡنَ اٰتَیۡنٰہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحُکۡمَ وَ النُّبُوَّۃَ ۚ فَاِنۡ یَّکۡفُرۡ بِہَا ہٰۤؤُلَآءِ فَقَدۡ وَکَّلۡنَا بِہَا قَوۡمًا لَّیۡسُوۡا بِہَا بِکٰفِرِیۡنَ ﴿۹۰ اُولٰٓئِکَ الَّذِیۡنَ ہَدَی اللّٰہُ فَبِہُدٰىہُمُ اقۡتَدِہۡ ؕ قُلۡ لَّاۤ اَسۡـَٔلُکُمۡ عَلَیۡہِ اَجۡرًا ؕ اِنۡ ہُوَ اِلَّا ذِکۡرٰی لِلۡعٰلَمِیۡنَ ﴿٪۹۱

Mereka itulah orang-orang yang telah Kami anugerahkan kepada mereka Kitab dan kekuasaan, dan kenabian. Tetapi jika mereka kafir terhadapnya maka sungguh Kami telah menyerahkannya kepada satu kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah memberi petunjuk maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Untuk tugas ini aku tidak meminta upah kepada kamu, [Al-Quran] ini tidak lain melainkan suatu nasihat untuk seluruh alam.” (Al-An’aam [6]:90-91).

Kalimat “maka ikutilah petunjuk mereka” kata-kata itu dapat dianggap tertuju kepada Nabi Besar Muhammad saw. karena di dalam pribadi beliau saw. terhimpun seluruh pribadi serta petunjuk para Rasul Allah sebelumnya dalam kuantitas dan kualitas yang paling sempurna, sebab kelahiran (pengutusan) Nabi Besar Muhammad saw. merupakan pengabulan doa Nabi Ibrahim a.s. yang dipanjatkan secara khusus bersama putra beliau, Nabi Isma'il a.s., ketika meninggilan kembali fondasi Rumah Allah (Ka'bah) di Mekkah (QS.2:28-30); atau tertuju kepada tiap-tiap orang Islam, sebab dasar ajaran para nabi semuanya sama.
Atau, kata-kata itu dapat diartikan bahwa wujud ruhani
atau fitrat Nabi Besar Muhammad saw. adalah demikian rupa sehingga seakan-akan beliau diperintahkan supaya memadukan di dalam diri beliau saw. segala sifat utama (akhlak fadhilah) yang terdapat pada pribadi nabi-nabi lainnya.

Perintah yang dikemukakan dengan kata-kata, “ikutilah petunjuk mereka” itu disebut dalam istilah keruhanian, Amr kauni atau amr khalqi, yang berarti satu keinginan atau sifat yang terdapat pada satu benda atau orang. Sebagai contoh mengenai perintah tersebut lihat QS.3:60 dn QS.21:30.

Sehubungan dengan kenyataan itulah Allah Swt. berfirman kepada Nabi Besar Muhammad saw:

قُلۡ اِنَّنِیۡ ہَدٰىنِیۡ رَبِّیۡۤ اِلٰی صِرَاطٍ مُّسۡتَقِیۡمٍ ۬ۚ دِیۡنًا قِیَمًا مِّلَّۃَ اِبۡرٰہِیۡمَ حَنِیۡفًا ۚ وَ مَا کَانَ مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿۱۶۲ قُلۡ اِنَّ صَلَاتِیۡ وَ نُسُکِیۡ وَ مَحۡیَایَ وَ مَمَاتِیۡ لِلّٰہِ رَبِّ الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿۱۶۳﴾ۙ لَا شَرِیۡکَ لَہٗ ۚ وَ بِذٰلِکَ اُمِرۡتُ وَ اَنَا اَوَّلُ الۡمُسۡلِمِیۡنَ ﴿۱۶۴ قُلۡ اَغَیۡرَ اللّٰہِ اَبۡغِیۡ رَبًّا وَّ ہُوَ رَبُّ کُلِّ شَیۡءٍ ؕ وَ لَا تَکۡسِبُ کُلُّ نَفۡسٍ اِلَّا عَلَیۡہَا ۚ وَ لَا تَزِرُ وَازِرَۃٌ وِّزۡرَ اُخۡرٰی ۚ ثُمَّ اِلٰی رَبِّکُمۡ مَّرۡجِعُکُمۡ فَیُنَبِّئُکُمۡ بِمَا کُنۡتُمۡ فِیۡہِ تَخۡتَلِفُوۡنَ﴿۱۶۴ وَ ہُوَ الَّذِیۡ جَعَلَکُمۡ خَلٰٓئِفَ الۡاَرۡضِ وَ رَفَعَ بَعۡضَکُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ دَرَجٰتٍ لِّیَبۡلُوَکُمۡ فِیۡ مَاۤ اٰتٰکُمۡ ؕ اِنَّ رَبَّکَ سَرِیۡعُ الۡعِقَابِ ۫ۖ وَ اِنَّہٗ لَغَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿۱۶۵﴾٪

Katakanlah: "Sesungguhny aku telah diberi petunjuk oleh Tuhan-ku kepada jalan lurus, agama yang teguh, agama Ibrahim yang lurus dan dia bukanlah dari orang-orang musyrik.” Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, pengorbananku, kehidupanku, dan kematianku hanyalah untuk Allāh, Tuhan seluruh alam; Tidak ada sekutu bagi-Nya, untuk itulah aku diperintahkan, dan akulah orang pertama yang berserah diri.” Katakanlah: Apakah aku akan mencari Tuhan yang bukan-Allah, padahal Dia-lah Tuhan segala sesuatu?” Dan tiada jiwa mengupayakan [sesuatu] melainkan akan menimpa dirinya, dan tidak pula seorang pemikul beban memikul beban orang lain. Kemudian kepada Tuhan kamu tempat kembalimu, maka Dia akan memberitahu kamu apa-apa yang mengenainya kamu berselisih. Dan Dia-lah Yang menjadikan kamu khalaaifa (khalifah-khalifah - penerus-penerus) di bumi, dan Dia meninggikan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam derajat supaya Dia menguji kamu dengan apa pun yang telah Dia berikan kepadamu. Sesungguhnya Tuhan engkau sangat cepat dalam menghukum, dan sesungguhnya Dia benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang (Al-An’aam [6]:162-166).

(Bersambung).

Rujukan:

The Holy Quran, editor Malik Ghulam Farid



Tidak ada komentar:

Posting Komentar