بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
HUBUNGAN KISAH MONUMENTAL
"ADAM, MALAIKAT, IBLIS"
DENGAN
SURAH AL-IKHLASH, AL-FALAQ, DAN AL-NAAS
Bagian III
Tentang
Hakikat "Nama-nama" yang Diajarkan Allah Swt. kepada Adam a.s.
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
وَ عَلَّمَ اٰدَمَ الۡاَسۡمَآءَ کُلَّہَا ثُمَّ عَرَضَہُمۡ عَلَی الۡمَلٰٓئِکَۃِ ۙ فَقَالَ اَنۡۢبِـُٔوۡنِیۡ بِاَسۡمَآءِ ہٰۤؤُلَآءِ اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿۳۲﴾ قَالُوۡا سُبۡحٰنَکَ لَا عِلۡمَ لَنَاۤ اِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَا ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَلِیۡمُ الۡحَکِیۡمُ ﴿۳۳﴾
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama itu semuanya, kemudian Dia mengemukakan mereka itu kepada para malaikat lalu Dia berfirman: " Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama mereka ini jika kamu memang benar.” Mereka berkata: “Mahasuci Engkau, kami tidak memiliki pengetahuan kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Al-Baqarah [2]:32-33).
Dalam Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai persamaan missi utama para Rasul Allah, mulai dari Nabi Adam a.s. sampai dengan Nabi Besar Muhammad saw. serta cara dari setiap Rasul Allah dalam memurnikan kembali Tauhid Ilahi yang sudah dikotori oleh berbagai bentuk kemusyrikan, sebagaimana contohnya yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s..
Pada hakikatnya hal tersebut merupakan bagian dari nama-nama yang diajarkan Allah Swt. kepada Adam atau "Khalifah Allah" -- yakni para Rasul Allah (QS.3:180; QS.72:27-29), dan pengakuan ketidakmampuan para malaikat untuk menerangkan atau memberitahukan, atau untuk "memikul amanat Allah Swt" (QS.33:73-74) sebagaimana yang dilakukan oleh "Adam a.s." menjadi alasan yang tidak dapat dibantah untuk kemudian mendukung kehendak Allah Swt. mengenai pentingnya keberadaan seorang "Khalifah Allah" -- dalam hal itu pengutusan para Rasul Allah, salah satu di antaranya adalah Nabi Adam a.s. -- serta orang-orang suci yang akan dibangkitkan dari keturunan Nabi Adam a.s. (Bani Adam - QS.7:35-37), firman-Nya:
وَ لِکُلِّ اُمَّۃٍ اَجَلٌ ۚ فَاِذَا جَآءَ اَجَلُہُمۡ لَا یَسۡتَاۡخِرُوۡنَ سَاعَۃً وَّ لَا یَسۡتَقۡدِمُوۡنَ ﴿۳۵﴾ یٰبَنِیۡۤ اٰدَمَ اِمَّا یَاۡتِیَنَّکُمۡ رُسُلٌ مِّنۡکُمۡ یَقُصُّوۡنَ عَلَیۡکُمۡ اٰیٰتِیۡ ۙ فَمَنِ اتَّقٰی وَ اَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿۳۶﴾ وَ الَّذِیۡنَ کَذَّبُوۡا بِاٰیٰتِنَا وَ اسۡتَکۡبَرُوۡا عَنۡہَاۤ اُولٰٓئِکَ اَصۡحٰبُ النَّارِ ۚ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿۳۷﴾
Kemudian Allah Swt. berfirman:
قَالَ یٰۤاٰدَمُ اَنۡۢبِئۡہُمۡ بِاَسۡمَآئِہِمۡ ۚ فَلَمَّاۤ اَنۡۢبَاَہُمۡ بِاَسۡمَآئِہِمۡ ۙ قَالَ اَلَمۡ اَقُلۡ لَّکُمۡ اِنِّیۡۤ اَعۡلَمُ غَیۡبَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ۙ وَ اَعۡلَمُ مَا تُبۡدُوۡنَ وَ مَا کُنۡتُمۡ تَکۡتُمُوۡنَ ﴿۳۴﴾
Dia berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka itu”, maka tatkala diberitahukannya kepada mereka nama-nama mereka itu, Dia berfirman: “Bukankah telah Aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia seluruh langit dan bumi dan mengetahui apa pun yang kamu nyatakan dan apa pun yang kamu sembunyikan? (Al-Baqarah [2]:34).
Karena para malaikat menyadari batas-batas pembawaan alami mereka maka mereka mengakui dengan terus-terang bahwa mereka tidak mampu mencerminkan semua sifat Allah Swt., mereka mengakui dengan terus-terang bahwa mereka tidak mampu mencerminkan (memperagakan) semua sifat Allah Swt. seperti dicerminkan (diperagakan) manusia, artinya mereka hanya dapat mencerminkan sifat-sifat Ilahi yang untuk itu Allah Swt. -- sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang kekal abadi -- telah menganugerahkan kepada para malaikat kekuatan mencerminkan.
Asmaa itu jamak dari ism, yang berarti: nama atau sifat; ciri atau tanda sesuatu (Lexicon Lane dan Mufradat). Para ahli tafsir berbeda paham mengenai apa yang dimaksud dengan kata asmaa (nama-nama) tersebut. Sebagian menyangka bahwa Allah Swt. mengajar Adam a.s. nama berbagai barang dan benda, yaitu Allah Swt. mengajar beliau dasar-dasar bahasa. Tidak diragukan lagi bahwa orang memerlukan bahasa untuk menjadi beradab dan Allah Swt. tentu telah mengajari Adam a.s. dasar-dasarnya, tetapi Al-Quran menunjukkan bahwa ada asmaa (nama atau sifat) yang harus dipelajari manusia untuk menyempurnakan akhlaknya sebagai hasil dari pelaksanaan ibadah kepada Allah Swt., sebagaimana sabda Nabi Besar Muhammad saw. mengenai makna ibadah yaitu "Takhallaqu bi-akhlaqillaah", yakni "hendaklah kalian berakhalaklah dengan akhlak (sifat-sifat) Allah."
Nama-nama tersebut disinggung dalam QS.7:181. Ini menunjukkan bahwa orang tidak dapat meraih makrifat Ilahi tanpa tanggapan dan pengertian yang tepat mengenai sifat-sifat Allah Swt. dan bahwa sifat-sifat-Nya itu hanya dapat diajarkan oleh Dia Sendiri, karena itu sangat perlu bahwa Allah Swt. mula-mula memberi Adam (manusia) ilmu (pengetahuan) tentang sifat-sifat-Nya supaya ia mengetahui dan mengenal-Nya serta mencapai kedekatan kepada-Nya dan jangan melantur jauh dari Dia.
Perbedaan Kemampuan Malaikat dengan Manusia
Menurut Al-Quran, manusia berbeda dari malaikat dalam hal bahwa manusia dapat menjadi bayangan atau pantulan dari al-Asmaa ul-husnaa yaitu semua Sifat Allah Swt. yang sempurna, sedang para malaikat hanya sedikit saja mencerminkan sifat-sifat itu. Para malaikat tidak memiliki kehendak sendiri, mereka secara pasif menjalankan tugas yang telah diserahkan kepadanya oleh Yang Maha Kuasa (QS.66:7). Sebaliknya, manusia yang dianugerahi kemauan dan kebebasan memilih, berbeda dengan para malaikat dalam hal bahwa manusia mempunyai kemampuan yang menjadikan dia penjelmaan sempurna semua sifat Ilahi.
Pendek kata, ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt. mula-mula menanamkan pada Adam a.s. kemauan yang bebas dan kemampuan yang diperlukan untuk memahami berbagai sifat Ilahi, dan kemudian memberikan ilmu (pengetahuan) mengenai sifat-sifat itu kepadanya. Asmaa dapat berarti pula sifat-sifat berbagai benda alam. Karena manusia harus mempergunakan kekuatan-kekuatan alam maka Allah Swt. menganugerahkan kepadanya kemampuan dan kekuasaan untuk mengetahui sifat-sifat dan khasiat-khasiatnya.
Kata pengganti hum (mereka) menunjukkan bahwa apa-apa yang disebut di sini bukan benda-benda tidak-bernyawa, sebab dalam bahasa Arab kata pengganti dalam bentuk ini hanya dipakai untuk wujud-wujud berakal saja. Jadi arti ungkapan itu akan berarti bahwa Allah Swt. menganugerahkan kepada para malaikat kemampuan melihat siapa yang menonjol ketakwaannya dari antara keturunan Adam a.s. kelak yang akan menjadi penjelmaan sifat-sifat Ilahi. Kemudian para malaikat ditanya apakah mereka sendiri dapat menjelmakan sifat-sifat Ilahi seperti mereka itu.? Atas pertanyaan itu mereka menyatakan ketidakmampuan, itulah yang dimaksud dengan kata-kata “Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama ini” yang tercantum pada ayat ini.
Karena para malaikat menyadari batas-batas pembawaan alami mereka, mereka mengakui dengan terus-terang bahwa mereka tidak mampu mencerminkan (mmemperagakan) semua sifat Allah Swt. seperti dicerminkan (diperagakan) oleh manusia, artinya mereka hanya dapat mencerminkan sifat-sifat Ilahi yang untuk itu Allah Swt. . — sesuai dengan kebijaksanaan-Nya yang kekal-abadi — telah menganugerahkan kepada mereka kekuatan mencerminkan. Itulah makna jawaban para malaikat:
قَالُوۡا سُبۡحٰنَکَ لَا عِلۡمَ لَنَاۤ اِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَا ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَلِیۡمُ الۡحَکِیۡمُ ﴿۳۳﴾
“Mereka berkata: “Mahasuci Engkau, kami tidak memiliki pengetahuan kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mengetahui, Maha Bijaksana (Al-Baqarah [2]:33).
Ketika para malaikat mengakui ketidakmampuan untuk menjelmakan dalam diri mereka sendiri semua sifat Ilahi yang dapat diperagakan Adam a.s., maka Adam a.s. dengan patuh kepada kehendak Ilahi menjelmakan berbagai kemampuan tabi’i (alami) yang telah tertanam dalam dirinya dan menampakkan kepada para malaikat pekerti mereka yang luas. Jadi diciptakan-Nya Adam membuktikan perlunya penciptaan suatu wujud yang mendapat kemampuan dari Allah Swt. untuk berkehendak sehingga ia dapat dengan kehendak sendiri memilih jalan kebaikan dan karena itu dapat menampakkan kemuliaan serta keagungan Ilahi.
Setelah Adam a.s. menjadi cerminan sifat-sifat Allah Swt. dan sudah mencapai pangkat nabi, Dia memerintahkan para malaikat untuk mengkhidmatinya. Ungkapan dalam bahasa Arab usjudu tidak berarti “Sujudlah di hadapan Adam” sebab Al-Quran tegas melarang bersujud di hadapan sesuatu selain Allah Swt. (QS.41:38), dan perintah semacam itu tidak mungkin diberikan kepada para malaikat. Perintah itu berarti “bersujudlah di hadapan-Ku sebagai tanda bersyukur karena Aku telah menjadikan Adam.”
Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
وَ اِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلٰٓئِکَۃِ اسۡجُدُوۡا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوۡۤا اِلَّاۤ اِبۡلِیۡسَ ؕ اَبٰی وَ اسۡتَکۡبَرَ ٭۫ وَ کَانَ مِنَ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿۳۵﴾
Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah yakni tunduk-patuhlah kamu kepada Adam” lalu mereka sujud kecuali iblis, ia menolak dan takabur, dan ia termasuk dari antara orang-orang yang kafir. (Al-Baqarah [2]:35).
Setelah Adam a.s. menjadi cerminan sifat-sifat Allah dan sudah mencapai pangkat nabi, Dia memerintahkan para malaikat untuk mengkhidmatinya. Ungkapan dalam bahasa Arab usjudu tidak berarti “Sujudlah di hadapan Adam” sebab Al-Quran tegas melarang bersujud di hadapan sesuatu selain Allah Swt. (QS.41:38), dan perintah semacam itu tidak mungkin diberikan kepada para malaikat. Perintah itu berarti “bersujudlah di hadapan-Ku sebagai tanda bersyukur karena Aku telah menjadikan Adam.”
Illa (kecuali) dipakai untuk memberi arti “kekecualian.” Dalam bahasa Arab istitsna (kekecualian) ada dua macam: (1) Istitsna muttashil artinya kekecualian pada saat sesuatu yang dikecualikan itu termasuk golongan atau jenis yang sama dengan golongan atau jenis yang darinya hendak dibuat kekecualian itu; (2) Istitsna munqathi, yaitu kekecualian pada saat sesuatu yang dikecualikan itu termasuk golongan atau jenis lain. Dalam ayat ini kata illa menunjuk kepada kekecualian terakhir karena iblis bukan salah seorang malaikat.
Makna “Kata “Iblis”
Kata iblis berasal dari ablasa, yang berarti: (1) kebaikan dan kebajikannya berkurang; (2) ia sudah melepaskan harapan atau jadi putus asa akan kasih-sayang Allah Swt. (3) telah patah semangat; (4) telah bingung dan tidak mampu melihat jalannya; dan (5) ia tertahan dari mencapai harapannya. Berdasarkan akar-katanya, arti kata iblis itu adalah suatu wujud yang sedikit sekali memiliki kebaikan tapi banyak kejahatan, dan disebabkan oleh rasa putus asa akan kasih-sayang Allah Swt. oleh sikap pembangkangannya sendiri, maka ia dibiarkan dalam kebingungan lagi pula tidak mampu melihat jalannya. Di dalam Al-Quran orang yang "putus asa" dari Rahmat Ilahi seperti itu disebut "mublisiin" (orang yang putus asa - QS.30:50) atau "mublisuun" (QS.6:45; QS.23:78' QS.43:76).
Iblis seringkali dianggap sama dengan syaitan, tetapi dalam beberapa hal berlainan dari dia. Harus dipahami bahwa iblis itu bukan salah seorang dari para malaikat, sebab ia di sini dilukiskan sebagai tidak patuh kepada Allah Swt. sedangkan para malaikat dilukiskan sebagai senantiasa tunduk dan patuh (QS.66:7). Allah Swt. telah murka kepada iblis karena ia pun diperintahkan mengkhidmati Adam a.s. tetapi iblis membangkang (QS.7:13). Tambahan pula, sekalipun jika tiada perintah tersendiri bagi iblis, perintah kepada para malaikat harus dianggap meliputi semua wujud, sebab perintah kepada para malaikat — sebagai penjaga berbagai bagian alam semesta — dengan sendirinya mencakup juga semua wujud.
Seperti dinyatakan di atas, iblis sesungguhnya nama sifat yang diberikan atas dasar arti akar kata itu (ablasa) kepada ruh jahat yang bertolak belakang dari sifat malaikat. Diberi nama demikian karena ia mempunyai sifat-sifat buruk seperti dirinci di atas, terutama bahwa ia sama sekali luput dari kebaikan dan telah dibiarkan kebingungan dalam langkahnya dan hilang harapan akan kasih-sayang Allah Swt..
Bahwa iblis bukanlah syaitan — yang disebut dalam QS.2:37 — jelas dari kenyataan bahwa Al-Quran menyebut kedua nama itu berdampingan, kapan saja riwayat Adam a.s. dituturkan. Tetapi di mana-mana dilakukan pemisahan yang cermat antara keduanya itu, yaitu kapan saja Al-Quran membicarakan makhluk yang — berbeda dari para malaikat — menolak berbakti kepada Adam a.s. maka senantiasa Al-Quran menyebutnya dengan nama iblis, tetapi bila Al-Quran membicarakan wujud yang menipu Adam a.s. dan menjadi sebab Adam a.s. diusir – yakni diperintahkan “berhijrah” -- dari “kebun” maka Al-Quran menyebutnya dengan nama syaitan.
Perbedaan ini — yang sangat besar artinya dan tetap dipertahankan dalam Al-Quran, sedikitnya pada sepuluh tempat (QS.2:35, 37; QS.7:12, 21; QS.15:32; QS.17:62; QS.18:51; QS.20:117, 121; QS.38:75) — jelas memperlihatkan bahwa iblis berbeda dari syaitan yang menipu Adam a.s. dan merupakan salah seorang dari kaum Nabi Adam a.s. sendiri. Di tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa iblis tergolong makhluk-makhluk Allāh tersembunyi dan — berlainan dari para malaikat — mampu menaati atau menentang Allah Swt. (QS.7:12, 13).
(Bersambung)
The Holy Quran, Editor Malik Ghulam Farid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar